Monday, June 30, 2025

Hukum Waris

Infografik hukum waris di Indonesia: pengertian, dasar hukum Pasal 830 BW, sistem hukum waris (perdata, Islam, adat), dan penggolongan ahli waris menurut KUHPer

Pendahuluan

Hukum waris merupakan bagian penting dari hukum perdata yang mengatur tentang peralihan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, hukum waris memiliki kompleksitas tersendiri karena dipengaruhi oleh berbagai sistem hukum: hukum perdata Barat (KUH Perdata), hukum Islam, dan hukum adat.

Meskipun hukum waris terlihat sebagai ranah privat, dalam praktiknya banyak terjadi sengketa yang membutuhkan intervensi hukum. Oleh karena itu, pemahaman mengenai asas, sistem, dan mekanisme pembagian warisan menjadi krusial bagi mahasiswa hukum, praktisi, dan masyarakat umum.

1. Pengertian Hukum Waris

Secara yuridis, hukum waris adalah keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur akibat-akibat hukum dari meninggalnya seseorang terhadap harta bendanya, yakni mengenai siapa yang berhak menjadi ahli waris, berapa bagian masing-masing, dan bagaimana mekanisme peralihannya.

Dalam KUH Perdata (BW), hukum waris diatur dalam Buku II Bab XII Pasal 830–1130.

Pasal 830 BW: “Pewarisan hanya terjadi karena kematian, dan hanya bagi harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.”

2. Sumber dan Sistem Hukum Waris di Indonesia

Indonesia mengenal tiga sistem hukum waris:

A. Hukum Waris Perdata (KUHPerdata)

  • Berlaku untuk non-Muslim yang tidak tunduk pada hukum adat.

  • Bersifat individual, warisan dibagi berdasarkan derajat hubungan darah.

B. Hukum Waris Islam

  • Berlaku bagi Muslim, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

  • Pembagian warisan bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, dan Ijma'.

C. Hukum Waris Adat

  • Berlaku berdasarkan daerah masing-masing.

  • Bersifat kolektif, individual sebagian, atau mayorat (warisan hanya jatuh ke anak tertua/laki-laki seperti pada suku Batak atau Bali).

Catatan: Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa hukum waris yang digunakan harus disesuaikan dengan agama dan keyakinan pewaris dan ahli waris.

3. Asas-Asas dalam Hukum Waris Perdata

  1. Asas Individualisme
    Harta warisan dibagi kepada ahli waris secara individu, tidak kolektif.

  2. Asas Kematian
    Warisan hanya terbuka setelah pewaris meninggal dunia.

  3. Asas Silsilah (derajat)
    Hak waris didasarkan pada hubungan darah dan pernikahan.

  4. Asas Hak Mutlak atas Warisan
    Setiap ahli waris berhak menerima bagiannya secara hukum, kecuali ditolak (renunciation) atau tidak memenuhi syarat (tidak cakap mewaris).

4. Ahli Waris dan Golongan Pewarisan dalam KUHPerdata

A. Penggolongan Ahli Waris (Pasal 832–838 KUHPer)

  1. Golongan I
    Anak (keturunan) dan suami/istri pewaris

  2. Golongan II
    Orang tua (ayah, ibu), saudara kandung

  3. Golongan III
    Kakek-nenek, paman, bibi

  4. Golongan IV
    Sepupu, famili lebih jauh

Golongan I menutup hak waris Golongan II, dan seterusnya.

B. Ahli Waris Pengganti

Jika ahli waris langsung telah meninggal sebelum pewaris, maka keturunannya dapat menggantikan (Pasal 841 KUHPer).

5. Cara Memperoleh Warisan

A. Secara Ab Intestato (Hukum Waris Tanpa Wasiat)

Terjadi secara otomatis berdasarkan undang-undang setelah pewaris meninggal.

B. Secara Testamentair (Melalui Wasiat)

Melalui surat wasiat yang sah, pewaris menetapkan siapa yang menerima hartanya. Dibatasi oleh ketentuan legitime portie (bagian mutlak ahli waris sah).

Contoh: Pewaris tidak dapat mewariskan seluruh harta kepada orang luar tanpa menyisakan hak ahli waris sah.

6. Hak dan Kewajiban Ahli Waris

  • Hak: menerima bagian warisan, mengelola warisan, menjual bagian.

  • Kewajiban: membayar utang-utang pewaris dengan warisan, menjaga warisan, menyelesaikan administrasi waris.

Ahli waris berhak untuk:

  • Menerima warisan (accepteren)

  • Menolak warisan (verwerpen)

  • Menerima dengan syarat inventarisasi (beneficiair aanvaarden)

7. Pembagian Warisan

A. Pembagian Secara Hukum

Sesuai proporsi golongan dan jumlah ahli waris, misalnya dalam Golongan I:

  • Anak-anak → bagian sama rata

  • Suami/istri → setara bagian anak

B. Pembagian Berdasarkan Wasiat

Dilakukan sesuai ketentuan wasiat yang sah.

C. Pembagian Berdasarkan Musyawarah

Sering kali pembagian dilakukan dengan kesepakatan keluarga di luar hukum formal, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan tidak menimbulkan keberatan pihak lain.

Baca juga Hukum tentang Benda

8. Contoh Kasus Singkat

Kasus:
Seorang ayah meninggal dunia, meninggalkan harta berupa rumah dan tanah. Ia memiliki seorang istri dan tiga anak.

Analisis:

  • Termasuk Golongan I

  • Harta dibagi menjadi 4 bagian:

    • 1/4 untuk istri

    • 3/4 dibagi rata kepada ketiga anak

Jika ada wasiat yang menetapkan salah satu anak mendapat rumah, maka pembagian harus memperhatikan hak mutlak (legitime portie) ahli waris lain.

9. Perkembangan Terkini dan Tantangan

  • Sengketa warisan semakin kompleks karena keluarga inti yang terpecah dan diaspora.

  • Banyak wasiat tidak dibuat secara sah, menyebabkan konflik.

  • Sistem pluralisme hukum menimbulkan kebingungan di tingkat penegakan hukum.

Solusi yang ditawarkan:

  • Penyuluhan hukum masyarakat

  • Penegasan sistem hukum waris dalam satu kodifikasi nasional

  • Pembuatan wasiat tertulis dan disahkan di notaris/pengadilan

Penutup

Hukum waris sebagai cabang dari hukum perdata sangat penting karena menyangkut keadilan dalam peralihan kekayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, pemahaman terhadap perbedaan sistem hukum waris menjadi kunci untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam praktik.

Sebagai masyarakat hukum, kita perlu lebih proaktif dalam menyusun administrasi warisan sejak dini agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.

{ "@context": "https://schema.org", "@type": "BreadcrumbList", "itemListElement": [ { "@type": "ListItem", "position": 1, "name": "Beranda", "item": "https://www.kelashukumonline.com/" }, { "@type": "ListItem", "position": 2, "name": "Hukum Waris", "item": "https://www.kelashukumonline.com/2025/06/hukum-waris.html" } ] }

Thursday, June 26, 2025

Kejagung: PP Justice Collaborator Jadi Pemacu Ungkap Kasus Besar

Pejabat Kejaksaan Agung berbicara di podium dengan teks “Kejagung: PP Justice Collaborator Jadi Pemacu Ungkap Kasus Besar”, dilengkapi ikon timbangan keadilan dan gedung pengadilan

Kelas Hukum Online – Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan respons positif terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 terkait justice collaborator (JC), yang resmi ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 8 Mei 2025. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa beleid ini menjadi alat strategis untuk mempercepat pengungkapan kasus-kasus pidana besar.

1. Tujuan dan Fungsi Pelaksanaannya

Menurut Harli, PP ini bertujuan memberikan jaminan hukum dan insentif bagi saksi pelaku yang membantu aparat penegak hukum, seperti jaksa dan penyidik, dalam menyingkap kejahatan. Adanya stimulus berupa keringanan hukuman atau pembebasan bersyarat diharapkan membuka keberanian saksi untuk mengungkap fakta—terutama yang melibatkan aktor utama kejahatan.

“Kejagung menilai PP ini akan menjadi alat pacu bagi mereka yang mengetahui tindak pidana untuk membuka fakta secara terang,” ujar Harli.

2. Mekanisme Penghargaan JC

Beleid ini mengamanatkan dua bentuk penghargaan bagi JC:
a. Keringanan hukuman pidana
b. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, atau hak narapidana lainnya sesuai UU.

Lebih jauh, proses ini dikombinasikan dengan mekanisme pemisahan tahanan dan pemberkasan, serta syarat administrasi dan substansi yang jelas untuk mendapat status JC.

3. Dukungan DPR dan DPR

Anggota Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyambut regulasi ini sebagai peluang untuk menjerat otak kejahatan, bukan hanya ‘ikan teri’ yaitu pelaku kecil. Legislator dari Golkar, Soedeson Tandra, juga mendesak agar pemilihan JC diawasi secara ketat agar tepat sasaran.

Baca juga Ahli Hukum Kritik PP Justice Collaborator

4. KPK: Selektif dan Hati-Hati

KPK juga merespons positif namun menekankan perlunya selektivitas. Juru bicara Budi Prasetyo menyatakan bahwa kriteria JC harus ketat, hanya diberikan kepada pelaku yang benar-benar membantu membuka peristiwa pidana utama. Selain itu, JC diwajibkan mengembalikan aset hasil kejahatan sebagai bagian dari penghargaan.

5. Tantangan dan Kritik Publik

Beberapa ahli hukum memperingatkan potensi intervensi dalam ranah peradilan oleh eksekutif. PP berbasis eksekutif ini dianggap rawan menimbulkan kesan presiden ikut menentukan hukuman, sesuatu yang secara hukum semestinya berada di tangan hakim saja.

Kehati-hatian juga diperlukan agar mekanisme ini tidak disalahgunakan untuk gratifikasi atau kesepakatan politik terselubung, sehingga mencederai prinsip keadilan.

6. Implikasi Penegakan Hukum

Ke depan, keberhasilan PP JC sangat bergantung pada regulasi turunan dan implementasi di lapangan:

  • Penyidik, jaksa, dan LPSK harus merumuskan prosedur asesmen yang transparan.

  • Ada kebutuhan mendesak untuk monitoring publik dan audit independen.

  • Harus ada peraturan teknis untuk memastikan hakim memutus JC berdasarkan fakta dan kontribusi, bukan rekomendasi eksekutif.

7. Penegakan Kasus Besar sebagai Uji Coba

PP ini diuji saat diterapkan dalam kasus korupsi besar, seperti pengadaan alat kesehatan atau kasus mafia tanah. Jika mekanisme JC berjalan efektif, diharapkan membuka lapisan aktor kunci dalam jaringan kriminal terstruktur.

📌 Kesimpulan

PP Nomor 24 Tahun 2025 tentang justice collaborator dipandang sebagai langkah strategis dalam penegakan hukum, menghadirkan insentif bagi pelaku yang bersedia bicara. Namun, untuk menjaga keadilan, kader penegak hukum perlu mematuhi asas independensi peradilan dan memastikan mekanisme ini tidak disalahgunakan.

{ "@context": "https://schema.org", "@type": "BreadcrumbList", "itemListElement": [ { "@type": "ListItem", "position": 1, "name": "Beranda", "item": "https://www.kelashukumonline.com/" }, { "@type": "ListItem", "position": 2, "name": "Kejagung: PP Justice Collaborator Jadi Pemacu Ungkap Kasus Besar", "item": "https://www.kelashukumonline.com/2025/06/kejagung-pp-justice-collaborator-jadi-pemacu-kasus-besar.html" } ] }

Ahli Hukum Kritik PP Justice Collaborator

Gambar berita hukum: ahli hukum berbicara di podium, dengan teks “Ahli Hukum Kritik PP Justice Collaborator: Presiden Tidak Berwenang Atur Hukuman” dan ikon palu hakim serta gedung pengadilan

Kelas Hukum Online – Ahli Hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengkritik keras Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025, yang memberikan penghargaan berupa keringanan hukuman atau bebas bersyarat bagi saksi pelaku yang menjadi justice collaborator. Abdul menilai penerbitan PP tersebut kurang tepat karena dinilainya mencampuri ranah kekuasaan kehakiman.

1. Intervensi Eksekutif ke Kekuasaan Kehakiman

Menurut Abdul, pengaturan soal penjatuhan hukuman dan hukuman ringannya adalah domain hakim, bukan presiden atau eksekutif. PP tersebut justru menciptakan celah di mana Presiden bisa mengintervensi penegakan hukum, padahal hubungan antara eksekutif dan peradilan sudah secara tegas diatur agar independen .

“Presiden sebagai kepala eksekutif tidak bisa mencampuri ranah peradilan… Ini intervensi namanya,” tegas Abdul.

2. Justice Collaborator Sudah Diatur oleh UU

Abdul menambahkan bahwa konsep justice collaborator sebetulnya telah diatur dalam Undang‑Undang tentang Perlindungan Saksi, Pelaku, dan Korban. Menyusun aturan baru dalam bentuk PP, yang posisinya lebih rendah dari UU, justru membingungkan dan menurunkan kekuatan hukum dasar.

3. Batas Kekuasaan Presiden

Lebih lanjut, ia menyatakan presiden hanya punya hak atas grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Sementara memberikan keringanan langsung kepada justice collaborator tidak termasuk kekuasaan presiden. Menurutnya, hal itu melewati batas wewenang eksekutif.

4. Rincian PP No. 24 Tahun 2025

PP yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 8 Mei 2025 ini mengatur dua jenis penghargaan maksimal:

  • Keringanan hukuman pidana;

  • Hak bebas bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain bagi justice collaborator yang sudah berstatus narapidana.

Selain itu, PP tersebut memuat aturan tentang pemisahan tahanan, pemberkasan, dan prosedur permohonan justice collaborator via penyidik, jaksa, atau LPSK.

5. Respons Lembaga Hukum Lain

  • Kejaksaan Agung: menyambut positif PP tersebut sebagai alat untuk membantu penegakan hukum kasus besar seperti korupsi, narkoba, dan terorisme.

  • Anggota DPR: Nasir Djamil (PKS) memperingatkan agar PP digunakan untuk kasus besar, bukan untuk isu tersier .

  • KPK: akan lebih selektif dalam memberikan status JC agar hanya orang yang benar-benar membantu pengungkapan yang diberi keistimewaan.

6. Pertentangan Prinsip

PP tersebut menimbulkan perdebatan prinsip antara:

  • Asas independensi peradilan: apakah eksekutif berhak menetapkan reward/jatuhi hukuman?

  • Efektivitas penegakan hukum: apakah justice collaborator perlu insentif konkret agar mau bantu ungkap kasus besar?

7. Kesimpulan & Rekomendasi

Ahli hukum menekankan agar status justice collaborator tetap diatur oleh UU, bukan PP. Penegakan hukum perlu lebih menitikberatkan pada kemurnian peran peradilan, dengan eksekutif tidak ikut menentukan ranah sanksi. Jika PP ini tetap dijalankan, perlu pengawasan ketat agar tidak melewati wewenang dan tetap mengedepankan profesionalisme hukum.

Baca juga Staf Media Prabowo Rugi Puluhan Juta

{ "@context": "https://schema.org", "@type": "BreadcrumbList", "itemListElement": [ { "@type": "ListItem", "position": 1, "name": "Beranda", "item": "https://www.kelashukumonline.com/" }, { "@type": "ListItem", "position": 2, "name": "Ahli Hukum Kritik PP Justice Collaborator", "item": "https://www.kelashukumonline.com/2025/06/ahli-hukum-kritik-pp-justice-collaborator.html" } ] }

Penegakan Hukum atas Aktivitas LGBT di Indonesia

Infografik hukum LGBT di Indonesia: ikon larangan pelangi, siluet kepala manusia, palu hukum, dan teks penegakan moral publik serta dasar KUHP

🧩 1. Pendahuluan

Isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) kembali menjadi sorotan publik setelah aparat Kepolisian mengamankan puluhan orang dalam kegiatan yang dianggap menyimpang secara moral dan hukum. Tindakan aparat negara menuai respons beragam: sebagian mendukung sebagai upaya menjaga moral masyarakat, sementara sebagian kecil lainnya mengkritik dari perspektif kebebasan individu.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendukung keberadaan atau gerakan LGBT, melainkan menganalisis bagaimana hukum positif Indonesia menghadapi realitas sosial tersebut, serta bagaimana nilai-nilai luhur Pancasila dan norma agama menjadi dasar pengaturannya.

📜 2. Dasar Hukum: UU Pornografi dan KUHP

Aktivitas LGBT di Indonesia tidak secara eksplisit dikriminalisasi dalam KUHP. Namun demikian, tindakan yang dilakukan di ruang publik atau melibatkan unsur pornografi dapat dijerat melalui:

1. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, terutama Pasal 4 dan Pasal 10 yang melarang perbuatan memperlihatkan aktivitas seksual atau alat bantu seks kepada publik, baik langsung maupun melalui media.

2. Pasal 281 dan Pasal 282 KUHP tentang perbuatan asusila di tempat umum dan distribusi materi cabul.

3. Pasal 27 ayat (1) UU ITE jika materi cabul disebarkan melalui media elektronik.

Penangkapan terhadap kelompok LGBT dalam pesta-pesta privat atau semi-privat kerap menggunakan landasan ini apabila ditemukan bukti kuat berupa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai melanggar kesusilaan dan norma publik.

📌 3. Moral Publik sebagai Landasan Penegakan Hukum

Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi moralitas publik sebagai bagian integral dari kehidupan berbangsa. Hal ini tercermin dalam:

1. Pembukaan UUD 1945, yang menekankan pada Ketuhanan dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.

2. Pasal 28J UUD 1945, yang menegaskan bahwa kebebasan individu dapat dibatasi demi moral, ketertiban, dan keamanan umum.

3. Nilai Pancasila, khususnya sila pertama dan kedua, yang tidak memisahkan hukum dari nilai agama dan kesusilaan.

Dalam konteks ini, penegakan hukum terhadap aktivitas LGBT yang menyalahi norma kesusilaan merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk menjaga tata moral masyarakat.

⚖️ 4. Polemik HAM dan Konsep Kebebasan

Kelompok pro-LGBT sering mengklaim bahwa penegakan hukum atas aktivitas mereka merupakan bentuk pelanggaran HAM. Namun perlu digarisbawahi:

Hak asasi manusia tidak bersifat absolut di Indonesia.

Pembatasan atas nama kepentingan umum, ketertiban, dan moral publik dijamin dalam konstitusi.

Negara memiliki kewenangan untuk menyeimbangkan antara hak individu dan hak masyarakat luas atas lingkungan sosial yang bersih, bermoral, dan sesuai nilai keagamaan.

Oleh karena itu, pembatasan terhadap promosi dan praktik LGBT—selama dilakukan secara proporsional dan berdasar hukum positif—merupakan kewenangan sah negara.

📚 5. Urgensi Peraturan Khusus Anti-LGBT

Melihat maraknya fenomena LGBT yang meresahkan di ruang digital maupun fisik, diperlukan:

a. Penguatan Regulasi

Pemerintah dan DPR dapat menyusun RUU Ketertiban Sosial atau menambahkan norma tentang orientasi seksual menyimpang dalam RUU KUHP, agar tidak menimbulkan celah hukum.

b. Pendidikan Karakter

Kurikulum pendidikan harus menanamkan nilai-nilai keluarga, etika, dan norma sosial yang kuat sejak usia dini untuk mencegah pengaruh ideologi seksualitas bebas.

c. Kontrol Media dan Internet

Pemerintah melalui Kominfo dan KPI perlu menindak konten LGBT di media sosial dan televisi agar tidak menyebarkan pengaruh negatif.

🌍 6. Argumen Agama dan Budaya Lokal

Mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama yang menolak praktik LGBT. Dalam ajaran Islam, Kristen, Hindu, maupun agama lokal, perilaku homoseksual dianggap menyimpang. Oleh karena itu:

Hukum negara tidak boleh lepas dari akar budaya dan keimanan rakyat.

Penerimaan LGBT secara hukum justru akan merusak tatanan keluarga, generasi muda, dan stabilitas moral bangsa.

Baca juga Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

🧠 7. Kesimpulan

Penegakan hukum terhadap aktivitas LGBT di Indonesia harus ditempatkan dalam kerangka:

1. Menjaga moral publik dan kesusilaan berdasarkan Pancasila dan konstitusi.

2. Mencegah penyimpangan sosial yang dapat merusak ketahanan keluarga dan masyarakat.

3. Menjaga keseimbangan antara hak individu dan hak masyarakat luas.

Indonesia tidak anti-kemanusiaan, namun Indonesia juga bukan negara liberal. Kita adalah bangsa yang religius, beradab, dan berkedaulatan. Maka dari itu, hukum harus menjadi perisai moral bangsa, bukan alat pembenaran perilaku menyimpang.

{ "@context": "https://schema.org", "@type": "BreadcrumbList", "itemListElement": [ { "@type": "ListItem", "position": 1, "name": "Beranda", "item": "https://www.kelashukumonline.com/" }, { "@type": "ListItem", "position": 2, "name": "Penegakan Hukum atas Aktivitas LGBT di Indonesia", "item": "https://www.kelashukumonline.com/2025/06/penegakan-hukum-atas-aktivitas-lgbt.html" } ] }

Wednesday, June 25, 2025

Hukum tentang Benda

Infografik hukum benda: ikon benda, klasifikasi, hak milik, dan penguasaan dalam sistem hukum perdata Indonesia dengan judul “Hukum tentang Benda”

Pendahuluan

Dalam kehidupan hukum perdata, benda merupakan objek yang sangat fundamental karena menjadi pusat berbagai hubungan hukum, seperti perjanjian jual beli, hibah, warisan, gadai, dan hak tanggungan. Untuk itu, perlu pemahaman yang jelas dan sistematis mengenai pengertian, jenis-jenis benda, serta status hukum atas benda tersebut.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), khususnya dalam Buku II yang berjudul "Tentang Benda dan Hak-Hak", pembahasan mengenai hukum benda mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan status dan perpindahan hak atas benda dalam lingkup hukum perdata Indonesia.

1. Pengertian Benda dalam Hukum Perdata

Pasal 499 KUHPerdata menyatakan:

“Segala barang, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang dapat dikuasai oleh manusia dan dapat menjadi objek hak milik, disebut benda.”

Dengan demikian, dalam pengertian hukum, benda mencakup segala sesuatu yang berwujud maupun tidak berwujud, dapat dikuasai, dan dapat menjadi objek hak.

Catatan penting:

  • Tidak semua barang dalam arti umum merupakan benda hukum.

  • Hanya yang dapat dialihkan dan dimiliki menurut hukumlah yang dapat dikualifikasikan sebagai “benda”.

2. Klasifikasi Benda dalam KUH Perdata

KUHPerdata membagi benda ke dalam beberapa klasifikasi sebagai berikut:

A. Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak

a.1 Benda Tidak Bergerak (Pasal 504–506 KUHPerdata)

Benda yang:

  • Tidak dapat dipindahkan tanpa merusak bentuk atau fungsinya

  • Melekat secara tetap pada tanah

Contoh: tanah, rumah, bangunan, tanaman tetap

a.2 Benda Bergerak

Benda yang:

  • Dapat dipindahkan tanpa mengubah bentuknya

  • Tidak melekat secara tetap pada tanah

Contoh: kendaraan, uang, perhiasan, hewan, barang elektronik

B. Benda Berwujud dan Tidak Berwujud

  • Berwujud (materiel): dapat diraba dan dilihat (mobil, meja)

  • Tidak berwujud (immateriel): tidak memiliki bentuk fisik, tetapi tetap memiliki nilai hukum (hak cipta, piutang, saham)

C. Benda yang Dihabiskan dan Tidak Dihabiskan

  • Dihabiskan (consumptible): benda yang habis dalam sekali pakai (makanan, bahan bakar)

  • Tidak Dihabiskan (non-consumptible): benda yang bisa digunakan berkali-kali (mobil, rumah)

3. Hak-Hak atas Benda (Zakelijke Rechten)

Hak atas benda adalah hak absolut yang memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap siapapun.

A. Hak Milik (Eigendom) – Pasal 570 KUHPer

Hak milik adalah hak tertinggi yang memberikan kewenangan penuh atas benda: untuk memakai, mengambil hasil, mengalihkan, bahkan memusnahkannya, selama tidak bertentangan dengan hukum.

Contoh: seseorang memiliki rumah, maka ia boleh menempati, menyewakan, menjual, atau menghibahkan rumah tersebut.

B. Hak Pakai dan Hak Pakai Hasil (Usufruct)

Hak untuk memakai atau mengambil hasil dari suatu benda milik orang lain, dengan syarat tidak mengubah bentuk atau merusak benda tersebut.

C. Hak Gadai dan Hak Hipotik (Jaminan Utang)

  • Gadai: hak jaminan atas benda bergerak.

  • Hipotik (sekarang dalam praktik tergantikan oleh hak tanggungan): hak jaminan atas benda tidak bergerak seperti tanah.

D. Hak Sewa (Huurrecht)

Hak seseorang untuk menggunakan benda milik orang lain dengan membayar sejumlah imbalan dalam waktu tertentu.

4. Perolehan dan Peralihan Hak atas Benda

Hak atas benda dapat diperoleh dan dialihkan melalui berbagai cara:

A. Perolehan Asli (Originair)

Terjadi ketika hak milik diperoleh pertama kali atas suatu benda yang sebelumnya tidak dimiliki oleh siapa pun.

Contoh: Menemukan benda liar di alam (misalnya, hasil buruan atau ikan di laut lepas).

B. Perolehan Derivatif (Turunan)

Terjadi karena peralihan dari pihak lain, seperti:

  • Jual beli

  • Hibah

  • Warisan

  • Tukar menukar

C. Melalui Daluwarsa (Verjaring)

Seseorang dapat memperoleh hak atas benda karena penguasaan dalam waktu lama (azas bezit = penguasaan fisik ditambah niat sebagai pemilik).

5. Kepemilikan Bersama atas Benda

Dalam hukum perdata dikenal juga konsep eigendomsverdeling atau kepemilikan bersama, yaitu ketika dua orang atau lebih memiliki hak atas satu benda.

A. Kepemilikan Komunal (Indivisio)

Contoh: harta bersama dalam perkawinan (gono-gini), warisan yang belum dibagi.

B. Pembagian dan Pemisahan (Partijlijke Eigendom)

Bisa dilakukan melalui perjanjian para pihak atau putusan pengadilan, sehingga tiap pihak memperoleh bagian secara pasti.

6. Penyelesaian Sengketa atas Benda

Sengketa atas benda bisa terjadi karena:

  • Sengketa kepemilikan

  • Sengketa perjanjian (jual beli, sewa)

  • Sengketa waris

Jalur penyelesaian:

  • Musyawarah atau mediasi

  • Gugatan ke Pengadilan Negeri

  • Eksekusi benda melalui pengadilan jika melibatkan utang piutang

Dalam proses perdata, bukti kepemilikan benda sangat penting: sertifikat tanah, akta jual beli, kuitansi, bukti kepemilikan kendaraan (STNK/BPKB), dll.

7. Kaitan dengan Hukum Publik dan Perkembangan Modern

Walau hukum benda termasuk domain privat, dalam beberapa hal ia bersinggungan dengan hukum publik, seperti:

  • Pertanahan: sertifikasi tanah diatur oleh UU No. 5 Tahun 1960 dan dilakukan oleh BPN

  • Lingkungan: pemanfaatan benda tidak boleh bertentangan dengan peraturan lingkungan hidup

  • Pajak: peralihan hak atas benda (khususnya properti) dikenai BPHTB dan PPh

Dalam perkembangan teknologi, hukum tentang benda kini juga mulai menyentuh:

  • Aset digital dan virtual (NFT, cryptocurrency)

  • Kepemilikan hak cipta dan hak kekayaan intelektual (HAKI)

Penutup

Hukum tentang benda merupakan pilar utama dalam sistem hukum perdata Indonesia. Melalui pengaturan benda dan hak-hak atasnya, hukum menjamin adanya kepastian hukum, perlindungan kepemilikan, dan keadilan dalam transaksi.

Dengan memahami klasifikasi benda, hak atas benda, serta cara memperoleh dan memindahkan hak milik, masyarakat dan praktisi hukum dapat bertindak secara benar dalam menjalin hubungan hukum. Terlebih di era digital dan globalisasi, pemahaman hukum benda akan semakin relevan untuk berbagai bentuk kekayaan modern.

{ "@context": "https://schema.org", "@type": "BreadcrumbList", "itemListElement": [ { "@type": "ListItem", "position": 1, "name": "Beranda", "item": "https://www.kelashukumonline.com/" }, { "@type": "ListItem", "position": 2, "name": "Hukum tentang Benda", "item": "https://www.kelashukumonline.com/2025/06/hukum-tentang-benda.html" } ] }

Ilmu Bantu dalam Hukum Pidana

Infografik ilmu bantu hukum pidana: ikon kriminologi, viktimologi, forensik, psikologi, dan sosiologi hukum dengan teks “Peran Interdisipliner dalam Menegakkan Keadilan”

Pendahuluan

Hukum pidana sebagai cabang ilmu hukum yang bersifat represif tidak bisa berdiri sendiri. Dalam proses penegakan hukum, dibutuhkan pemahaman yang komprehensif dan pendekatan yang multidisipliner. Di sinilah konsep ilmu bantu (hulpwetenschappen) menjadi penting, yakni berbagai ilmu yang membantu penegakan hukum pidana dari aspek di luar dogmatika hukum.

Ilmu bantu membantu aparat penegak hukum—mulai dari penyidik, jaksa, hakim, hingga pembina lembaga pemasyarakatan—dalam memahami realitas sosial, psikologis, biologis, dan budaya dari tindak pidana. Artikel ini mengulas secara komprehensif jenis-jenis ilmu bantu yang digunakan dalam hukum pidana dan peran strategisnya dalam sistem peradilan pidana.

I. Pengertian Ilmu Bantu dalam Hukum Pidana

Ilmu bantu adalah disiplin ilmu non-hukum yang berkontribusi dalam analisis, penemuan fakta, dan penyusunan kebijakan hukum pidana. Ia berfungsi mendukung pemahaman hukum pidana dari berbagai perspektif agar penegakan hukum tidak semata legalistik, melainkan juga berkeadilan dan berbasis ilmu pengetahuan.

Dalam ranah akademik, ilmu bantu dibedakan dari ilmu hukum murni. Jika ilmu hukum berfokus pada “apa yang seharusnya” secara normatif, maka ilmu bantu fokus pada “mengapa dan bagaimana” kejahatan terjadi serta bagaimana pengaruhnya terhadap individu dan masyarakat.

II. Jenis-Jenis Ilmu Bantu dalam Hukum Pidana

1. Kriminologi

Definisi: Ilmu yang mempelajari sebab-sebab kejahatan, perilaku kriminal, dan cara pencegahan kejahatan.

Peran dalam hukum pidana:

  • Memberi pemahaman terhadap motif dan faktor penyebab kejahatan (biologis, psikologis, sosial, ekonomi)

  • Menjadi dasar dalam merancang kebijakan kriminal (criminal policy)

  • Membantu hakim dalam pertimbangan pemidanaan berbasis latar belakang pelaku

Contoh aplikasi:
Studi kriminologis menunjukkan hubungan antara kemiskinan ekstrem dan pencurian, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam restorative justice.

2. Viktimologi

Definisi: Ilmu yang mempelajari korban kejahatan, karakteristiknya, dan hubungannya dengan pelaku.

Peran dalam hukum pidana:

  • Memberikan perlindungan lebih bagi korban, termasuk restitusi dan rehabilitasi

  • Mengkaji kemungkinan victim precipitation (korban turut menyebabkan kejahatan)

  • Menjadi dasar dalam pendekatan keadilan restoratif

Contoh aplikasi:
Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, viktimologi membantu menelusuri posisi korban yang kerap terjebak dalam relasi kuasa.

3. Psikologi Forensik

Definisi: Cabang psikologi yang berkaitan dengan aspek hukum dan kriminal, terutama kondisi mental pelaku.

Peran:

  • Menilai kemampuan bertanggung jawab pelaku (misalnya: gangguan jiwa)

  • Mengkaji niat dan kesengajaan dalam tindak pidana (dolus vs culpa)

  • Menyusun profil kriminal (criminal profiling)

Contoh: Pemeriksaan kejiwaan untuk tersangka pembunuhan guna menentukan apakah pelaku mengalami psikosis saat kejadian.

4. Ilmu Kedokteran Forensik

Definisi: Ilmu kedokteran yang digunakan untuk kepentingan hukum, khususnya pembuktian dalam perkara pidana.

Peran:

  • Melakukan visum et repertum sebagai alat bukti

  • Mengungkap sebab dan waktu kematian

  • Menganalisis luka, racun, atau jejak biologis

Contoh: Autopsi jenazah korban pembunuhan untuk memastikan penyebab kematian dan alat yang digunakan.

Baca juga Sejarah Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia

5. Sosiologi Hukum

Definisi: Ilmu yang mempelajari hubungan antara hukum dan masyarakat, termasuk perilaku hukum masyarakat.

Kontribusi:

  • Memahami konteks sosial dari tindak pidana (misalnya: kejahatan jalanan di wilayah urban)

  • Meneliti efektivitas suatu kebijakan pidana dalam masyarakat

  • Membantu desain pemidanaan yang sesuai nilai sosial dan budaya lokal

Contoh: Penelitian tentang efektivitas program pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

6. Antropologi Hukum

Definisi: Ilmu yang mempelajari keberagaman budaya dalam praktik hukum, termasuk hukum adat dan respons masyarakat terhadap hukum pidana formal.

Peran:

  • Menyesuaikan hukum pidana dengan kearifan lokal

  • Menghindari konflik antara hukum negara dan hukum adat

  • Memfasilitasi pendekatan non-litigasi berbasis musyawarah

III. Peran Ilmu Bantu dalam Tahapan Proses Hukum Pidana

Ilmu bantu berperan dalam setiap tahapan proses hukum pidana:

A. Tahap Penyelidikan dan Penyidikan

  • Kriminologi: menganalisis motif dan modus operandi

  • Psikologi forensik: wawancara tersangka dan analisis kejiwaan

  • Kedokteran forensik: menyusun visum dan laporan autopsi

B. Tahap Penuntutan dan Persidangan

  • Viktimologi: memperhatikan kondisi korban dalam penuntutan

  • Psikologi: menilai keterpenuhan unsur niat

  • Sosiologi hukum: mempertimbangkan kondisi sosial pelaku dan korban

C. Tahap Pemidanaan dan Pembinaan

  • Sosiologi dan kriminologi: sebagai dasar perumusan sanksi

  • Psikologi forensik: menentukan jenis pembinaan yang tepat

  • Antropologi hukum: menyesuaikan pemidanaan dengan konteks budaya lokal

IV. Urgensi dan Tantangan Penggunaan Ilmu Bantu

Urgensi:

  • Penegakan hukum menjadi lebih manusiawi dan ilmiah

  • Menghindari kekeliruan dalam pembuktian dan pemidanaan

  • Mendorong reformasi hukum berbasis pendekatan interdisipliner

Tantangan:

  • Keterbatasan sumber daya manusia yang kompeten di bidang ilmu bantu

  • Kurangnya kolaborasi antara penegak hukum dan akademisi non-hukum

  • Keterbatasan anggaran dan infrastruktur (seperti laboratorium forensik)

Kesimpulan

Ilmu bantu dalam hukum pidana adalah fondasi penting bagi sistem hukum yang tidak hanya adil secara formal, tetapi juga adil secara substantif. Ilmu-ilmu seperti kriminologi, psikologi forensik, dan kedokteran forensik memberi warna dan kedalaman dalam proses penyelidikan, penuntutan, hingga pemidanaan.

Dalam era penegakan hukum modern, pendekatan multidisipliner bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Penegak hukum harus berani membuka diri terhadap ilmu bantu agar mampu memahami kejahatan secara utuh dan menjatuhkan keadilan dengan bijaksana.

Penutup

Artikel ini menjadi bagian dari seri materi hukum pidana yang terus dikembangkan di blog Kelas Hukum Online.

{ "@context": "https://schema.org", "@type": "BreadcrumbList", "itemListElement": [ { "@type": "ListItem", "position": 1, "name": "Beranda", "item": "https://www.kelashukumonline.com/" }, { "@type": "ListItem", "position": 2, "name": "Ilmu Bantu dalam Hukum Pidana", "item": "https://www.kelashukumonline.com/2025/06/ilmu-bantu-dalam-hukum-pidana.html" } ] }

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia

Ilustrasi hukum kewarganegaraan dan HAM: paspor, siluet manusia, dokumen bertuliskan “Hak Asasi Manusia”, timbangan keadilan, dan buku “Kewarganegaraan dan HAM” berlatar peta Indonesia

Pendahuluan

Kewarganegaraan dan hak asasi manusia (HAM) merupakan dua aspek fundamental dalam hukum tata negara. Kewarganegaraan berkaitan dengan status hukum seseorang sebagai anggota dari suatu negara, sedangkan hak asasi manusia menyangkut hak-hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak lahir, yang harus dijamin, dihormati, dan dilindungi oleh negara.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedua aspek ini tidak hanya penting secara teoritik, tetapi juga memiliki relevansi praktis yang tinggi dalam konteks demokrasi, keadilan sosial, dan perlindungan hukum. Artikel ini akan membahas secara sistematis pengertian, dasar hukum, bentuk perlindungan, serta tantangan aktual yang dihadapi Indonesia dalam menjamin kewarganegaraan dan HAM warganya.

1. Pengertian Kewarganegaraan

Kewarganegaraan adalah status hukum yang menunjukkan hubungan antara individu dengan negara, yang melahirkan hak dan kewajiban timbal balik.

a. Perspektif Hukum

  • Warga negara adalah subjek hukum yang memiliki hak konstitusional dan tanggung jawab terhadap negara.

  • Orang asing diakui hak-haknya secara terbatas, tetapi tidak memiliki hak politik.

b. Dasar Hukum Kewarganegaraan

  • UUD NRI 1945 Pasal 26 ayat (1): “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.”

  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

2. Prinsip-Prinsip Kewarganegaraan di Indonesia

a. Ius Sanguinis (Asas Keturunan)

Seseorang menjadi warga negara Indonesia karena memiliki orang tua WNI, tanpa memperhatikan tempat lahirnya.

b. Ius Soli Terbatas (Asas Tempat Lahir Terbatas)

Diterapkan dalam kondisi tertentu untuk mencegah terjadinya orang tanpa kewarganegaraan (apatride).

c. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas

Berlaku untuk anak hasil perkawinan campuran hingga usia 18 tahun, setelah itu wajib memilih salah satu kewarganegaraan.

d. Asas Non-Diskriminasi

UU No. 12/2006 menekankan kesetaraan hak kewarganegaraan tanpa diskriminasi berdasarkan ras, etnis, atau agama.

3. Hak Asasi Manusia (HAM): Konsep dan Dasar Konstitusional

Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada manusia sejak lahir, tidak dapat dicabut oleh siapapun, dan wajib dilindungi negara.

a. Dasar Hukum HAM di Indonesia

  • UUD NRI 1945 Bab XA (Pasal 28A – 28J) → mengatur hak hidup, hak berpendapat, hak beragama, hak atas keadilan, hak privasi, dan lainnya.

  • Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

  • Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

  • Ratifikasi berbagai konvensi HAM internasional: ICCPR, ICESCR, CEDAW, dan lainnya.

b. Karakteristik Hak Asasi

  • Universal

  • Tidak dapat dicabut (inalienable)

  • Melekat pada setiap manusia

  • Bersifat saling terkait dan tidak dapat dipisahkan

4. Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam Konteks HAM

a. Hak Warga Negara

  • Hak atas identitas (akte kelahiran, KTP, paspor)

  • Hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu

  • Hak untuk mendapat pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan penghidupan layak

  • Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan

  • Hak atas rasa aman dan perlindungan hukum

b. Kewajiban Warga Negara

  • Taat terhadap hukum dan pemerintahan

  • Membela negara

  • Menghormati hak asasi orang lain

  • Membayar pajak

  • Ikut serta dalam pembangunan nasional

5. Perlindungan Konstitusional terhadap HAM

Pasal 28I UUD 1945 menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Ini menegaskan perlindungan mutlak atas hak-hak tertentu.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, dan Ombudsman RI merupakan institusi yang berperan dalam perlindungan dan pengawasan pelaksanaan HAM.

6. Tantangan Perlindungan Kewarganegaraan dan HAM di Indonesia

a. Masalah Warga Negara Ganda dan Apatride

Masih terdapat masalah administratif yang membuat sebagian orang kehilangan status kewarganegaraannya, terutama hasil perkawinan campuran dan pengungsi.

b. Pelanggaran HAM oleh Aparat

Sejumlah pelanggaran HAM masih terjadi, baik dalam bentuk kekerasan oleh aparat, penyiksaan, maupun diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

c. Kurangnya Kesadaran HAM

Sebagian masyarakat masih menganggap HAM sebagai ancaman terhadap keamanan negara, padahal HAM justru memperkuat martabat manusia.

d. Perlakuan Diskriminatif

Diskriminasi terhadap kelompok rentan, seperti perempuan, disabilitas, minoritas agama, dan masyarakat adat masih terjadi di berbagai daerah.

7. Strategi Penguatan Kewarganegaraan dan Perlindungan HAM

a. Reformasi Regulasi

  • Revisi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip HAM dan kewarganegaraan.

b. Pendidikan HAM dan Kewarganegaraan

  • Pendidikan kewarganegaraan berbasis konstitusi dan nilai-nilai HAM harus diperkuat sejak dini.

c. Penguatan Lembaga Penegak HAM

  • Komnas HAM, Ombudsman, dan LPSK harus diberi kewenangan lebih luas serta didukung secara anggaran dan kelembagaan.

d. Partisipasi Masyarakat Sipil

  • Masyarakat sipil memiliki peran penting dalam pengawasan dan edukasi publik mengenai HAM dan kewarganegaraan.

Kesimpulan

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia merupakan pilar utama dalam sistem hukum tata negara Indonesia. Keduanya saling terkait: hanya melalui status kewarganegaraanlah seseorang bisa secara penuh menikmati hak konstitusionalnya. Namun, negara juga berkewajiban melindungi hak asasi setiap individu, termasuk warga negara asing, dalam koridor hukum nasional dan internasional.

Dalam praktiknya, meskipun kerangka hukum telah tersedia, tantangan seperti pelanggaran HAM, diskriminasi, dan lemahnya akses terhadap hak sipil masih perlu terus diatasi. Oleh karena itu, komitmen negara, aparat penegak hukum, dan partisipasi masyarakat sipil sangat menentukan dalam mewujudkan sistem hukum tata negara yang adil, inklusif, dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.

{ "@context": "https://schema.org", "@type": "BreadcrumbList", "itemListElement": [ { "@type": "ListItem", "position": 1, "name": "Beranda", "item": "https://www.kelashukumonline.com/" }, { "@type": "ListItem", "position": 2, "name": "Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia", "item": "https://www.kelashukumonline.com/2025/06/kewarganegaraan-dan-hak-asasi-manusia.html" } ] }

Tuesday, June 24, 2025

Hukum tentang Keluarga

Ilustrasi hukum keluarga di Indonesia: siluet keluarga (ayah, ibu, anak) berdiri di atas buku “Hukum Keluarga”, timbangan keadilan di samping, dengan latar simbol rumah, dokumen pernikahan, dan peta Indonesia samar

Pendahuluan

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, tetapi memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tatanan sosial dan hukum. Dalam konteks hukum perdata Indonesia, hukum tentang keluarga mencakup aturan mengenai hubungan antar anggota keluarga, hak dan kewajiban dalam perkawinan, kekuasaan orang tua terhadap anak, serta permasalahan hukum yang mungkin timbul, seperti perceraian dan hak asuh.

Hukum keluarga tidak hanya mengatur urusan privat, tetapi juga menyentuh aspek publik karena berdampak terhadap stabilitas sosial dan perlindungan terhadap pihak-pihak yang rentan, seperti anak dan perempuan. Oleh karena itu, hukum keluarga menjadi bagian penting dalam pembelajaran hukum perdata yang tidak bisa diabaikan.

1. Pengertian Hukum Keluarga dalam Konteks Perdata

Hukum keluarga adalah bagian dari hukum perdata yang mengatur hubungan hukum yang lahir dari ikatan kekeluargaan, baik karena perkawinan, keturunan, maupun hubungan perwalian.

Secara doktrinal, hukum keluarga mencakup:

  • Hukum perkawinan

  • Hubungan orang tua dan anak

  • Perwalian dan pengampuan

  • Adopsi anak (pengangkatan anak)

  • Hak dan kewajiban antar anggota keluarga

Sumber hukum keluarga di Indonesia terdiri dari:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) – bersifat umum

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)

  • Peraturan pelaksana UU Perkawinan

  • Hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam) bagi yang beragama Islam

  • Hukum adat dan kearifan lokal

2. Perkawinan dan Asas-Asasnya

a. Definisi Perkawinan

Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

b. Asas-asas Hukum Perkawinan Indonesia

  • Monogami → Pasal 3 UU Perkawinan menegaskan bahwa prinsip dasar perkawinan adalah satu suami satu istri, kecuali dalam keadaan tertentu.

  • Kesetaraan Hak dan Kewajiban Suami Istri

  • Tujuan Perkawinan adalah Kekal

  • Perkawinan Tercatat secara Resmi

c. Syarat dan Rukun Perkawinan

Syarat sah menurut agama menjadi dasar, dan pencatatan di Kantor Urusan Agama (untuk Muslim) atau Catatan Sipil (non-Muslim) merupakan syarat administratif.

3. Harta dalam Perkawinan: Harta Bersama dan Harta Bawaan

Hukum keluarga dalam sistem perdata juga mengatur rezim harta kekayaan dalam perkawinan:

  • Harta Bersama (Gono-Gini)
    Harta yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi milik bersama, kecuali diperjanjikan lain melalui perjanjian pranikah.

  • Harta Bawaan
    Harta yang diperoleh sebelum perkawinan atau melalui warisan/hadiah, tetap menjadi milik masing-masing pasangan.

Pengaturan ini penting dalam pembagian harta jika terjadi perceraian.

4. Perceraian: Alasan, Prosedur, dan Akibat Hukumnya

Perceraian di Indonesia diatur dalam UU Perkawinan dan disesuaikan dengan agama masing-masing pihak. Proses perceraian harus dilakukan di hadapan pengadilan.

a. Alasan Perceraian (Pasal 19 PP 9/1975 dan Pasal 116 KHI):

  • Perselingkuhan

  • Kekerasan dalam rumah tangga

  • Penelantaran

  • Penyakit berat atau cacat permanen

  • Perbedaan prinsip yang tidak dapat didamaikan

b. Akibat Hukum Perceraian

  • Pemutusan hubungan suami istri

  • Pembagian harta bersama

  • Penentuan hak asuh anak (biasanya kepada ibu untuk anak di bawah umur)

5. Kedudukan dan Kekuasaan Orang Tua terhadap Anak

a. Hak Asuh dan Pemeliharaan Anak

Menurut Pasal 45 UU Perkawinan, orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak tersebut dewasa.

b. Kekuasaan Orang Tua (parental authority)

Disebut juga dengan kekuasaan orang tua atau ouderlijke macht dalam KUHPerdata, yakni wewenang hukum untuk mengatur, mewakili, dan bertanggung jawab atas tindakan hukum anak.

6. Pengangkatan Anak (Adopsi)

Pengangkatan anak diatur dalam:

  • PP No. 54 Tahun 2007

  • Peraturan Menteri Sosial RI

Adopsi harus dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dan disahkan melalui keputusan pengadilan atau instansi berwenang. Status anak angkat disetarakan dengan anak kandung dalam hal hak dan kewajiban hukum keluarga.

7. Perwalian dan Pengampuan

a. Perwalian

Perwalian (voogdij) berlaku jika orang tua telah meninggal dunia atau tidak cakap hukum, dan anak membutuhkan wakil hukum untuk mengurus haknya.

b. Pengampuan

Pengampuan adalah bentuk perlindungan hukum bagi orang dewasa yang tidak mampu mengurus dirinya (karena cacat mental, usia lanjut, dsb). Ditentukan oleh pengadilan dengan permohonan keluarga dekat.

8. Peran Hukum Adat dan Agama dalam Hukum Keluarga

Indonesia menganut sistem hukum majemuk (pluralistik). Maka hukum keluarga tidak tunggal:

  • Bagi Muslim → Kompilasi Hukum Islam berlaku secara khusus, termasuk dalam hal talak, hadhanah, dan nafkah.

  • Di berbagai daerah → hukum adat berpengaruh dalam perkawinan, waris, dan pengangkatan anak (misalnya di Minangkabau, Bali, Batak, Papua).

Kondisi ini menuntut hakim dan praktisi hukum memahami konteks sosial dan budaya dalam memutus perkara keluarga.

Penutup

Hukum keluarga adalah aspek paling personal dalam hukum perdata, namun juga yang paling kompleks dan penting. Ia menyangkut hubungan antar manusia yang dibentuk bukan hanya oleh hukum positif, tetapi juga oleh nilai agama, adat, dan moralitas masyarakat.

Pemahaman terhadap struktur, hubungan hukum, serta dinamika dalam hukum keluarga menjadi fondasi penting bagi siapa pun yang ingin menjadi praktisi hukum, pembentuk kebijakan, maupun warga negara yang taat hukum.

{ "@context": "https://schema.org", "@type": "BreadcrumbList", "itemListElement": [ { "@type": "ListItem", "position": 1, "name": "Beranda", "item": "https://www.kelashukumonline.com/" }, { "@type": "ListItem", "position": 2, "name": "Hukum tentang Keluarga", "item": "https://www.kelashukumonline.com/2025/06/hukum-tentang-keluarga.html" } ] }