Monday, October 27, 2025

Perubahan Konstitusi

Materi ini membahas pengertian perubahan konstitusi, kedudukan dan alasan perubahan, bentuk-bentuk perubahan (penggantian vs amandemen), perubahan formil dan materiil, cara perubahan menurut para sarjana, sistem perubahan konstitusi, faktor pendorong, serta pengalaman Indonesia dalam mengubah UUD 1945.

Interior ruang sidang parlemen dengan kubah megah yang menggambarkan lembaga legislatif sebagai bagian penting dalam proses perubahan konstitusi dan pembaruan hukum dasar negara.

PENGERTIAN PERUBAHAN KONSTITUSI

Konstitusi adalah hukum dasar tertinggi suatu negara. Konstitusi mengatur bentuk negara, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, hubungan antar lembaga negara, serta hak dan kewajiban warga negara. Karena kedudukannya sangat tinggi, konstitusi sering dianggap stabil dan tahan lama.

Namun, tidak ada konstitusi yang benar-benar permanen. Perubahan konstitusi adalah penyesuaian terhadap kondisi sosial, politik, ekonomi, dan nilai-nilai baru yang berkembang dalam masyarakat dan negara. Perubahan konstitusi tidak selalu berarti mengganti negara atau merombak seluruh sistem; perubahan bisa berupa perbaikan, penegasan ulang, pembatasan kekuasaan, atau penambahan jaminan hak rakyat.

Dengan kata lain, perubahan konstitusi adalah cara agar hukum dasar negara tetap relevan, demokratis, dan mampu menjawab kebutuhan zaman.

KEDUDUKAN KONSTITUSI DAN ALASAN PERUBAHANNYA

Konstitusi memiliki dua kedudukan penting.

Kedudukan hukum

Secara hukum, konstitusi adalah norma tertinggi. Semua peraturan perundang-undangan harus tunduk padanya. Kalau ada aturan di bawahnya yang bertentangan, aturan tersebut dapat dibatalkan.

Kedudukan politik

Secara politik, konstitusi adalah hasil kompromi kekuatan sosial, politik, dan ekonomi pada masa ketika konstitusi itu dirumuskan. Artinya, konstitusi tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari tarik-menarik kepentingan: siapa ingin dilindungi, siapa ingin dibatasi, siapa ingin diberi wewenang. Karena peta kepentingan sosial dan ekonomi dapat berubah, maka dorongan untuk mengubah konstitusi juga akan muncul.

Dari sini penting untuk dipahami: perubahan konstitusi bukan sekadar proses hukum, tapi juga proses politik. Ketika tuntutan keadilan sosial berubah, ketika praktik kekuasaan dianggap terlalu dominan, atau ketika rakyat menuntut jaminan hak yang lebih kuat, perubahan konstitusi menjadi salah satu jalur koreksi.

BENTUK PERUBAHAN KONSTITUSI: PENGGANTIAN VS AMANDEMEN

Secara umum ada dua cara besar memahami perubahan konstitusi:

Model “penggantian penuh”

Dalam pendekatan ini, bila konstitusi diubah, maka yang diberlakukan adalah konstitusi baru secara keseluruhan. Jadi perubahan dipahami sebagai pembaruan total, seolah-olah konstitusi lama selesai masa berlakunya dan digantikan naskah baru. Pola seperti ini banyak dianut dalam tradisi Eropa Kontinental.

Model “amandemen”

Dalam pendekatan ini, konstitusi asli tetap berlaku. Perubahan (amandemen) hanya menambah, mengurangi, atau memperbaiki bagian tertentu. Hasil amandemen dianggap melekat pada naskah konstitusi yang sudah ada, bukan membuat konstitusi baru. Pola ini banyak dijumpai dalam tradisi Anglo-Saxon.

Perbedaan cara pandang ini penting karena ia menunjukkan bagaimana suatu negara memperlakukan konstitusinya: apakah konstitusi dianggap sesuatu yang bisa diperbarui total ketika situasi politik berubah, atau sesuatu yang dijaga kesinambungannya dan hanya “disesuaikan” secara bertahap.

PERUBAHAN FORMIL DAN PERUBAHAN MATERIIL

Perubahan konstitusi bisa dianalisis dari dua jenis perubahan isi.

Perubahan formil (formal amendment)

Perubahan formil terjadi jika teks konstitusi itu sendiri secara resmi diubah melalui mekanisme yang sah menurut konstitusi. Ciri-ciri utamanya:

  • Ada prosedur yang ditentukan secara jelas (misalnya harus diputuskan oleh lembaga tertentu).
  • Biasanya memerlukan tingkat persetujuan khusus, misalnya suara setuju supermayoritas.
  • Hasil akhirnya tampak dalam teks resmi: pasal ditambah, dihapus, atau disusun ulang.

Perubahan formil ini yang biasa disebut “amandemen secara resmi”.

Perubahan materiil (perubahan makna substantif)

Perubahan materiil terjadi ketika makna konstitusi berubah dalam praktik, meskipun rumusan pasalnya tidak berubah. Hal ini dapat terjadi karena:

  • Tafsir baru dari hakim atau lembaga peradilan,
  • Kebiasaan ketatanegaraan (konvensi),
  • Pergeseran perilaku politik yang diterima sebagai standar baru.

Singkatnya, perubahan formil mengubah kalimatnya, sedangkan perubahan materiil mengubah penerapannya. Keduanya sama-sama nyata dalam sejarah ketatanegaraan modern.

CARA PERUBAHAN KONSTITUSI MENURUT PARA SARJANA

Para ahli hukum tata negara menjelaskan bahwa perubahan konstitusi tidak hanya bisa terjadi lewat sidang resmi, tapi juga lewat tekanan sosial, tafsir hukum, bahkan perubahan kekuasaan politik.

Pandangan George Jellinek

Verfassungsänderung adalah perubahan konstitusi atau undang-undang dasar yang dilakukan secara sengaja, mengikuti cara yang disebutkan dalam konstitusi itu sendiri. Ini perubahan formal dan prosedural — inilah amandemen resmi.

Verfassungswandlung adalah perubahan konstitusi yang tidak dilakukan melalui prosedur resmi konstitusi, melainkan melalui cara-cara luar biasa seperti revolusi, pembentukan konvensi ketatanegaraan, atau praktik politik baru yang diterima umum. Perubahan ini bersifat non-formal. Dampak politiknya bisa besar walau teks belum berubah.

Intinya, Jellinek membedakan perubahan yang “resmi menurut aturan main” dengan perubahan yang “terjadi karena kenyataan kekuasaan”.

Pandangan Hans Kelsen

Pertama, perubahan konstitusi bisa dilakukan oleh organ khusus yang memang dibentuk hanya untuk mengubah konstitusi (konstituante). Artinya, mengubah konstitusi bukan urusan legislatif biasa, tetapi mandat lembaga istimewa.

Kedua, dalam negara federal, perubahan konstitusi tidak cukup diputuskan oleh tingkat pusat saja. Perubahan harus disetujui juga oleh lembaga legislatif di negara bagian atau daerah anggota federasi. Jadi, dibutuhkan kesepakatan berlapis: pusat + daerah.

Pandangan C.F. Strong

Beberapa cara perubahan konstitusi menurut Strong antara lain:

  • Perubahan oleh lembaga legislatif dengan persyaratan khusus. Parlemen dapat mengubah konstitusi, tetapi tidak dengan prosedur biasa. Ada syarat tambahan seperti jumlah suara tertentu, kehadiran anggota tertentu, atau sidang khusus.
  • Perubahan melalui referendum rakyat. Rakyat secara langsung menyetujui atau menolak perubahan konstitusi. Ini menegaskan kedaulatan rakyat.
  • Perubahan dalam negara federal melalui persetujuan unit-unit federasi. Tidak cukup hanya persetujuan tingkat nasional; negara bagian/daerah anggota juga harus setuju.
  • Perubahan melalui konvensi khusus. Negara dapat membentuk badan khusus (konvensi konstitusi, konstituante) dengan satu tugas: merumuskan atau menyetujui perubahan konstitusi.

Pandangan K.C. Wheare

K.C. Wheare menjelaskan bahwa konstitusi dapat berubah melalui beberapa jalur:

  • Tekanan kekuatan sosial-politik besar. Misalnya tekanan politik, tekanan ekonomi, konflik legitimasi, atau krisis sosial. Dalam kondisi ekstrem, ini bisa memaksa perubahan konstitusi de facto sebelum prosedur formal dijalankan.
  • Perubahan formal (formal amendment). Perubahan yang mengikuti prosedur resmi sebagaimana ditetapkan dalam konstitusi.
  • Penafsiran peradilan (judicial interpretation). Hakim memberi tafsir baru atas pasal tertentu, lalu tafsir itu menjadi standar nasional.
  • Kebiasaan ketatanegaraan (usage and convention). Praktik politik yang berulang dan diterima sebagai “cara baku”, meskipun tidak tertulis.

Kesimpulannya: konstitusi dapat berubah melalui jalur hukum resmi, melalui tafsir, melalui kebiasaan ketatanegaraan, melalui tekanan masyarakat, bahkan melalui perubahan kekuasaan politik yang drastis.

SISTEM PERUBAHAN KONSTITUSI

Secara umum, negara punya dua kecenderungan dalam merancang mekanisme perubahan konstitusi.

Konstitusi fleksibel

Perubahan konstitusi relatif mudah, hampir sama seperti mengubah undang-undang biasa. Sistem seperti ini membuat konstitusi cepat menyesuaikan keadaan baru. Namun kelemahannya: konstitusi menjadi rentan dijadikan alat kepentingan politik jangka pendek.

Konstitusi kaku

Perubahan konstitusi dibuat sangat sulit. Misalnya:

  • harus ada suara setuju supermayoritas,
  • harus ada dua kali persetujuan dalam waktu berbeda,
  • harus ada referendum rakyat,
  • atau harus ada persetujuan tingkat daerah/negara bagian.

Keuntungan sistem kaku: stabilitas, perlindungan hak dasar, dan pencegahan manipulasi kekuasaan. Kelemahannya: lebih lambat menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan sosial.

Karena itu, perdebatan besar dalam hukum konstitusi selalu berputar di sini: seberapa mudah konstitusi boleh diubah?

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PERUBAHAN KONSTITUSI

Konstitusi jarang berubah “karena ingin saja”. Biasanya perubahan konstitusi muncul karena ada tekanan kuat seperti:

  • Perkembangan peradaban: perubahan teknologi, ekonomi, dan pola hidup masyarakat menuntut perlindungan hukum baru yang belum ada dalam konstitusi lama.
  • Krisis politik atau ekonomi: krisis besar sering memunculkan tuntutan restrukturisasi kekuasaan negara.
  • Tuntutan negara kesejahteraan: semakin kuat gagasan bahwa negara wajib hadir dalam pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perlindungan sosial, semakin besar tuntutan memasukkan hak-hak sosial ekonomi rakyat ke dalam konstitusi.
  • Perubahan pandangan masyarakat: tuntutan atas HAM, transparansi, akuntabilitas, pembatasan masa jabatan penguasa, dan partisipasi publik mendorong konstitusi menyesuaikan diri.

PENGALAMAN INDONESIA: PERUBAHAN UUD 1945

Perjalanan konstitusi Indonesia menunjukkan bahwa perubahan bukan teori abstrak, tetapi nyata secara historis.

Garis besarnya:

  • 1945–1949: UUD 1945 berlaku pertama kali setelah proklamasi.
  • 1949–1950: Konstitusi berubah menjadi UUD Republik Indonesia Serikat (UUD RIS), sejalan dengan bentuk negara serikat saat itu.
  • 1950–1959: Berlaku UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) dengan sistem parlementer.
  • 1959–1998: Kembali ke UUD 1945 melalui penetapan kembali, dengan praktik yang sangat dipengaruhi kekuasaan eksekutif (Presiden).
  • 1999–sekarang: UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil perubahan (amandemen).

Perubahan UUD 1945 pada periode reformasi dilakukan bukan dengan mengganti negara, tetapi dengan melakukan amandemen. Amandemen tersebut memperkuat kedaulatan rakyat, memperjelas pembatasan kekuasaan Presiden, mempertegas hak asasi manusia dalam batang tubuh UUD, membentuk lembaga baru seperti DPD, dan menata ulang hubungan antar lembaga negara.

Dalam proses perubahan ini, ada kesepakatan dasar yang dijaga sebagai batas:

  • Pembukaan UUD 1945 tidak diubah.
  • Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dipertahankan.
  • Sistem pemerintahan presidensial dipertahankan.
  • Hal-hal normatif yang dulu hanya ada di Penjelasan UUD 1945 dimasukkan langsung ke pasal-pasal agar jelas secara hukum.
  • Perubahan dilakukan dengan teknik adendum, yaitu menambahkan dan menyusun ulang pasal-pasal, bukan meniadakan identitas konstitusi itu sendiri.

Ini menunjukkan bahwa Indonesia memilih jalur amandemen (perubahan formil yang terkontrol), bukan penggantian konstitusi total. Indonesia juga menerapkan pembatasan agar perubahan tidak menghancurkan fondasi kenegaraan seperti Pembukaan UUD 1945 dan bentuk negara kesatuan.

PENUTUP

Perubahan konstitusi adalah hal yang wajar dan bahkan perlu, karena negara dan masyarakat tidak pernah diam. Akan tetapi, perubahan konstitusi tidak boleh diperlakukan sebagai instrumen kekuasaan semata. Pertanyaan utamanya selalu sama:

  • Apakah perubahan tersebut melindungi rakyat, atau justru melindungi penguasa?
  • Apakah perubahan tersebut memperkuat keadilan sosial, atau memperlebar ketimpangan?
  • Apakah perubahan tersebut membuat negara lebih demokratis, transparan, bertanggung jawab?
  • Atau justru sebaliknya?

Memahami perubahan konstitusi berarti memahami arah perjalanan negara. Bukan hanya “apa bunyi pasalnya”, tetapi “mengapa pasal itu diubah”, “siapa yang diuntungkan”, dan “apa yang dijaga agar tidak hilang”.



No comments:

Post a Comment