a. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Secara konstitusional, Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia. Artinya, seluruh penyelenggaraan negara — mulai dari pembentukan hukum, penyusunan kebijakan publik, hingga perilaku lembaga negara — harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Namun pemahaman ini belum cukup. Pancasila tidak boleh dilihat hanya sebagai “dasar negara”, tetapi juga sebagai sebuah sistem filsafat.
Sistem filsafat berarti suatu susunan nilai dasar yang saling berhubungan, bersifat menyeluruh, rasional, serta menjadi pedoman untuk memandang manusia, masyarakat, negara, dan tujuan hidup bersama. Dengan demikian, Pancasila bukan sekadar daftar lima sila yang dihafal, tetapi satu bangunan nilai yang terstruktur dan saling terkait. Sila-sila Pancasila tidak dapat dipahami secara terpisah; semuanya saling menopang.
Jika kita perhatikan isi setiap sila, kita melihat bahwa Pancasila memberikan orientasi nilai yang sangat luas:
• Sila Ketuhanan menegaskan dimensi moral dan spiritual dalam kehidupan publik.
• Sila Kemanusiaan menegaskan martabat manusia yang harus dihormati.
• Sila Persatuan menegaskan pentingnya identitas kebangsaan yang inklusif.
• Sila Kerakyatan menegaskan etika berdemokrasi melalui musyawarah dan kebijaksanaan.
• Sila Keadilan Sosial menegaskan tujuan akhir negara: keadilan dan kesejahteraan bersama.
Dari sudut pandang filsafat, Pancasila menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan? Bagaimana warga negara seharusnya diperlakukan? Apa tujuan akhir kehidupan bernegara?
Di sinilah letak urgensinya. Sebuah negara tidak dapat bertahan hanya dengan hukum positif dan prosedur administratif. Negara memerlukan arah moral. Pancasila menyediakan arah moral tersebut. Tanpa orientasi nilai yang jelas, kebijakan publik mudah tergelincir menjadi alat kepentingan jangka pendek, bukan alat untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan.
b. Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Dalam praktik sehari-hari, Pancasila sering direduksi menjadi slogan: dibacakan pada upacara, ditempel di dinding kelas, dihafalkan dalam ujian, lalu dilupakan. Cara seperti ini berbahaya karena membuat Pancasila tampak sebagai dogma yang tidak perlu dipikirkan.
Kajian filosofis mengembalikan Pancasila ke tempat yang seharusnya: bukan hanya dihafal, tetapi dipahami secara kritis. Artinya, kita tidak hanya bertanya “apa isi Pancasila?”, tetapi juga “mengapa nilai itu penting?”, “bagaimana nilai itu harus diterapkan?”, dan “apakah praktik negara hari ini sudah sesuai dengan nilai itu?”.
Ketika dipahami secara filosofis, Pancasila berfungsi sebagai alat evaluasi moral terhadap kebijakan negara. Misalnya, sila Keadilan Sosial menuntut agar negara melindungi semua warga, bukan hanya kelompok yang kuat secara ekonomi atau politik. Ini berarti kebijakan anggaran, pengelolaan sumber daya alam, pelayanan publik, dan distribusi kesejahteraan harus diuji dari sudut keadilan sosial.
Demikian pula sila Kerakyatan tidak hanya berbicara tentang demokrasi prosedural (“siapa yang suaranya paling banyak menang”), tetapi juga etika pengambilan keputusan: musyawarah, kebijaksanaan, dan orientasi pada kemaslahatan umum. Dengan demikian, Pancasila menolak politik transaksional yang hanya mengejar kemenangan, tetapi tidak memedulikan tanggung jawab moral terhadap rakyat.
Kajian filosofis Pancasila juga penting untuk menjaga kohesi bangsa. Indonesia adalah negara majemuk: agama berbeda, budaya berbeda, latar ekonomi berbeda. Keberagaman ini dapat menjadi kekuatan, tetapi juga bisa memicu konflik. Pancasila berperan sebagai titik temu nilai bersama (common ground), bukan sebagai alat pemaksaan satu kelompok atas kelompok lain. Dengan memahami Pancasila secara filosofis, kita melihat Pancasila sebagai ruang perjumpaan nilai, bukan alat penyeragaman.
Dari sisi akademik, Pancasila sebagai filsafat adalah identitas intelektual Indonesia. Banyak negara punya nilai dasar: misalnya liberty, equality, fraternity di Prancis; atau kebebasan individu di Amerika. Indonesia memiliki Pancasila, yang tidak hanya bicara kebebasan, tetapi juga persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Ini adalah ciri khas pemikiran kebangsaan kita.
c. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pancasila tidak lahir secara tiba-tiba. Pancasila adalah hasil proses sejarah, pengalaman sosial bangsa Indonesia, dan kompromi politik menjelang kemerdekaan. Untuk memahami Pancasila secara utuh, kita perlu menelusuri tiga sumber utamanya: historis, sosiologis, dan politis.
Pertama, sumber historis. Pancasila dirumuskan pada masa persiapan kemerdekaan tahun 1945, terutama dalam sidang-sidang BPUPKI. Pada periode itu, para pendiri bangsa membahas apa dasar negara Indonesia merdeka yang akan lahir. Pidato-pidato dari tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Mohammad Yamin menunjukkan bahwa Pancasila bukan gagasan satu orang, melainkan hasil dialog, negosiasi, dan pencarian bersama. Pancasila adalah kesimpulan dari proses sejarah, bukan sekadar ide pribadi.
Kedua, sumber sosiologis. Pancasila mencerminkan nilai yang sudah hidup di masyarakat nusantara jauh sebelum merdeka: semangat gotong royong, budaya musyawarah, penghormatan terhadap martabat manusia, penghargaan terhadap nilai ketuhanan, serta cita-cita keadilan ekonomi rakyat kecil. Dengan kata lain, Pancasila tidak mengimpor ideologi asing secara mentah, melainkan merumuskan kepribadian sosial bangsa Indonesia sendiri.
Ketiga, sumber politis. Pancasila juga lahir dari kebutuhan persatuan politik. Indonesia menjelang kemerdekaan adalah masyarakat yang sangat beragam: ada kelompok nasionalis sekuler, kelompok religius, kelompok sosialis, dan kekuatan daerah. Tanpa titik temu, negara berpotensi pecah sebelum lahir. Pancasila menjadi dasar bersama (kompromi luhur) agar semua kekuatan politik bersedia tinggal dalam satu rumah bersama yang disebut Republik Indonesia.
Dengan demikian, Pancasila sebagai sistem filsafat adalah sintesis dari tiga lapis pengalaman: sejarah perjuangan kemerdekaan, realitas sosial masyarakat Indonesia, dan kebutuhan politik untuk bersatu. Karena itu, Pancasila bukan barang impor dan bukan doktrin kosong. Pancasila adalah cerminan siapa kita sebagai bangsa.
d. Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Sering dikatakan bahwa Pancasila itu tetap dan tidak berubah. Namun dalam kenyataannya, Pancasila mengalami berbagai penafsiran berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila itu hidup, dan justru karena hidup, ia menghadapi tantangan.
Secara historis, pada masa awal kemerdekaan, Pancasila difungsikan sebagai simbol persatuan bangsa. Pada masa Orde Baru, Pancasila dijadikan asas tunggal dan ditempatkan sebagai alat legitimasi kekuasaan negara. Pada titik itu, Pancasila tidak selalu dipakai untuk membela rakyat, tetapi sering dipakai untuk membungkam kritik. Setelah Reformasi, Pancasila dihidupkan kembali sebagai dasar nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Ini menunjukkan bahwa Pancasila bisa dimanfaatkan secara membebaskan, tetapi juga bisa dipelintir menjadi alat kontrol.
Di masa sekarang, Pancasila menghadapi beberapa tantangan besar. Tantangan pertama adalah radikalisme identitas, yaitu munculnya paham yang ingin menggantikan dasar kebangsaan dengan ideologi tunggal kelompok tertentu. Sikap seperti ini mengancam prinsip Persatuan Indonesia karena menempatkan satu identitas sebagai yang paling benar, dan identitas lain sebagai ancaman.
Tantangan kedua adalah pragmatisme politik. Sila Kerakyatan mengajarkan musyawarah, kebijaksanaan, dan orientasi pada kepentingan bersama. Tetapi dalam praktik politik modern, demokrasi sering direduksi menjadi sekadar perebutan suara dan transaksi kekuasaan. Demokrasi prosedural berjalan, tetapi etika politiknya hilang. Ini bertentangan dengan semangat Pancasila.
Tantangan ketiga adalah persoalan keadilan sosial. Sila kelima menegaskan bahwa keadilan dan kesejahteraan harus dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tetapi realitasnya, masih ada ketimpangan, kemiskinan struktural, dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Selama masalah-masalah ini ada, Pancasila sedang diuji: apakah keadilan sosial sungguh diwujudkan, atau hanya menjadi kalimat indah.
Karena itu, mempelajari Pancasila sebagai sistem filsafat berarti juga belajar bersikap kritis terhadap praktik bernegara. Tugas warga negara bukan hanya menghafal lima sila, tetapi mengawasi sejauh mana negara, pemerintah, lembaga publik, bahkan elite politik benar-benar bertindak sesuai nilai Pancasila.
e. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Esensi Pancasila sebagai sistem filsafat adalah bahwa Pancasila berfungsi sebagai fondasi moral, arah nilai, dan pedoman hidup bersama bangsa Indonesia. Pancasila tidak hanya berisi ide abstrak, tetapi memuat tuntutan etis yang konkret: manusia harus dihormati martabatnya, kekuasaan harus dijalankan dengan tanggung jawab, perbedaan harus dirawat dalam bingkai persatuan, demokrasi harus mengandung kebijaksanaan dan musyawarah, dan kesejahteraan harus adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan cara ini, Pancasila menolak dua ekstrem. Di satu sisi, Pancasila menolak gagasan negara yang dikuasai oleh satu kelompok saja, karena itu bertentangan dengan prinsip persatuan dan kemanusiaan. Di sisi lain, Pancasila juga menolak kebebasan tanpa batas yang hanya memihak kepentingan individu kuat dan mengabaikan rakyat banyak. Pancasila menempatkan negara sebagai pelindung martabat manusia, penjaga persatuan nasional, pelaksana demokrasi yang bermusyawarah, dan penggerak keadilan sosial.
Urgensi Pancasila pada masa kini justru semakin besar. Kita hidup di tengah polarisasi politik, persaingan identitas, ledakan informasi, krisis keadilan ekonomi, dan tekanan global. Di situasi seperti ini, bangsa membutuhkan titik temu nilai yang tidak mudah dibeli oleh kepentingan sesaat. Pancasila, jika dipahami secara filosofis (bukan hanya seremonial), menyediakan titik temu itu. Ia menjadi bahasa bersama untuk berbicara tentang hak, kewajiban, keadilan, persatuan, dan kemanusiaan.
Karena itu, mempelajari Pancasila sebagai sistem filsafat bukan kegiatan nostalgia masa lalu. Ini adalah kebutuhan hari ini dan masa depan. Mempelajari Pancasila berarti mempelajari untuk apa negara ini ada, apa yang harus dilindungi negara, dan bagaimana warga negara memegang peran moral di dalam kehidupan berbangsa.
Khusus mahasiswa, silahkan kerjakan tugas berikut ! Klik tulisan dibawah ini !
Tugas MK Pancasila

No comments:
Post a Comment