Tuesday, October 28, 2025

Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)

1. Pengantar

Penafsiran hukum atau interpretasi hukum adalah proses menentukan arti atau makna suatu ketentuan hukum, terutama pasal dalam undang-undang, agar dapat diterapkan secara tepat pada peristiwa konkret.

Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran hukum merupakan metode dalam penemuan hukum yang bertujuan memberi penjelasan yang jelas terhadap teks undang-undang sehingga ruang lingkup kaidah hukumnya bisa ditentukan terhadap kasus tertentu. Dengan kata lain, sebelum suatu pasal diterapkan, pasal itu harus dipahami terlebih dahulu melalui penafsiran.

Penafsiran hukum penting karena bahasa undang-undang tidak selalu tegas, sementara fakta-fakta konkret di masyarakat sering lebih kompleks daripada rumusan normatifnya. Hakim tidak boleh menolak perkara hanya karena hukum tidak jelas, sehingga hakim harus menafsirkan. Dengan demikian, penafsiran hukum menjadi jembatan antara teks undang-undang dan realitas perkara.

Patung Lady Justice memegang timbangan keadilan di depan lukisan klasik sebagai simbol hukum dan keadilan.

2. Hubungan Penafsiran dengan Penemuan Hukum

Penafsiran hukum merupakan bagian dari penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum adalah proses ketika hakim atau pejabat penegak hukum mencari atau membentuk hukum agar dapat memutus perkara konkret. Hal ini penting karena undang-undang tidak selalu lengkap atau jelas.

Van Eikema Hommes menjelaskan bahwa penemuan hukum lazimnya dipahami sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau pejabat hukum lain yang diberi tugas menerapkan hukum pada peristiwa konkret. Artinya, hakim tidak sekadar membaca pasal, tetapi melakukan klarifikasi, pengembangan, bahkan penghalusan hukum agar putusannya masuk akal secara yuridis dan sosial.

Dalam praktik peradilan, hakim menafsirkan bunyi pasal, melakukan konstruksi hukum jika norma tidak jelas, atau menggunakan analogi jika norma belum ada. Hasil putusan hakim dapat menjadi rujukan (yurisprudensi) yang berfungsi sebagai sumber hukum. Melalui penafsiran, hakim bukan hanya menerapkan hukum, tetapi juga ikut membentuk hukum agar hukum itu hidup dalam kenyataan sosial.

3. Tujuan Penafsiran

1. Menemukan makna sebenarnya dari ketentuan hukum

Bahasa dalam undang-undang sering umum, multitafsir, atau teknis. Satu kata seperti “dapat” bisa dipahami sebagai pilihan atau kewenangan yang wajib dijalankan. Penafsiran diperlukan untuk menjawab pertanyaan apa maksud norma ini. Tujuan ini mencegah kesalahan penerapan hukum hanya karena kesalahan membaca kalimat. Jadi, penafsiran berfungsi untuk memperjelas makna norma sebelum digunakan.

2. Menyesuaikan penerapan hukum dengan kondisi sosial yang berubah

Undang-undang lahir dalam konteks waktu tertentu, sedangkan masyarakat selalu berubah. Banyak peristiwa modern tidak dikenal saat undang-undang lama dibuat. Misalnya istilah “benda” yang awalnya dipahami sebagai barang berwujud, kini melalui penafsiran ekstensif dapat mencakup listrik, pulsa, atau aset digital. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran membuat hukum tetap relevan terhadap perkembangan masyarakat.

3. Menghindari kekosongan hukum (rechtvacuum)

Banyak situasi tidak diatur secara eksplisit oleh undang-undang. Hakim tidak boleh berhenti hanya karena aturan belum jelas, melainkan wajib menemukan jawabannya. Penafsiran membantu hakim mengisi ruang kosong hukum sehingga perkara tetap bisa diputus secara bertanggung jawab. Dengan cara ini, penafsiran menjadi alat agar tidak ada kasus nyata yang tidak bisa diselesaikan hanya karena undang-undang kurang lengkap.

4. Menjamin keadilan dan kepastian hukum

Penafsiran bukan tujuan pada dirinya sendiri, tetapi sarana untuk mencapai putusan yang dapat diterima secara sosial. Dari sisi kepastian hukum, penafsiran membantu menetapkan batas yang jelas tentang apa yang termasuk dan tidak termasuk dalam suatu norma. Dari sisi keadilan, penafsiran memungkinkan hakim menghindari penerapan yang terlalu kaku jika penerapan harfiah akan melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian, penafsiran membantu menyeimbangkan antara kepastian hukum dan keadilan.

4. Jenis-Jenis Penafsiran Hukum dan Contohnya

4.1 Penafsiran Gramatikal (Tata Bahasa)

Penafsiran gramatikal dilakukan dengan membaca kata-kata dalam pasal undang-undang menurut arti bahasa sehari-hari. Fokus utamanya adalah teks sebagaimana tertulis. Metode ini penting ketika suatu pasal memakai kata kunci seperti “dapat”, “wajib”, atau “harus”, karena perbedaan satu kata dapat mengubah akibat hukum. Penafsiran ini sering disebut pendekatan objektif karena melekat pada teks, bukan pada dugaan kehendak pembuat undang-undang.

Contoh: Jika pasal berbunyi “Pejabat dapat menjatuhkan sanksi administratif”, maka kata “dapat” berarti pejabat memiliki kewenangan diskresioner, bukan kewajiban mutlak. Sebaliknya, “Pejabat wajib menjatuhkan sanksi” berarti harus. Kata “izin harus diberikan secara tertulis” juga tidak bisa ditafsirkan sebagai izin lisan, karena secara bahasa “tertulis” berarti ada dokumen yang bisa dibaca kembali.

4.2 Penafsiran Historis (Sejarah)

Penafsiran historis dilakukan dengan menelusuri latar belakang lahirnya suatu ketentuan hukum. Tujuannya adalah mengetahui alasan dan maksud pembentuk undang-undang ketika merumuskan norma tersebut. Ada dua pendekatan, yaitu sejarah undang-undang (melihat risalah rapat, naskah akademik, draf rancangan) dan sejarah hukum (melihat perkembangan konsep hukumnya dalam doktrin dan praktik sebelumnya).

Contoh: Suatu pasal memberi kekebalan hukum kepada pejabat publik. Dengan melihat sejarah pembentukan undang-undang, hakim menemukan bahwa kekebalan itu hanya dimaksudkan untuk tindakan resmi dalam tugas negara, bukan untuk kepentingan pribadi. Artinya, pemerasan demi keuntungan pribadi tidak dilindungi oleh kekebalan tersebut.

4.3 Penafsiran Sistematis (Dogmatis)

Penafsiran sistematis membaca satu pasal dalam kaitannya dengan pasal lain dalam undang-undang yang sama atau peraturan lain yang berkaitan. Prinsipnya, hukum adalah satu kesatuan. Metode ini digunakan untuk mencegah benturan antar ketentuan dan menjaga konsistensi dalam keseluruhan sistem hukum.

Contoh: Satu pasal memberi hak publik untuk mengakses informasi. Pasal lain dalam undang-undang yang sama mengecualikan informasi rahasia dagang. Dengan penafsiran sistematis, kedua pasal dibaca bersama sehingga hak atas informasi diakui tetapi tetap dibatasi demi melindungi rahasia dagang.

4.4 Penafsiran Teleologis (Sosiologis)

Penafsiran teleologis menitikberatkan pada tujuan sosial dari suatu ketentuan. Pertanyaannya adalah untuk kepentingan apa aturan itu dibuat dan masalah sosial apa yang ingin diselesaikan. Metode ini penting ketika teks undang-undang belum menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial terbaru.

Contoh: Undang-undang perlindungan konsumen dibuat saat transaksi masih tatap muka di toko fisik. Ketika sengketa muncul dalam transaksi e-commerce, hakim dapat menafsirkan bahwa perlindungan konsumen tetap berlaku dalam transaksi online, karena tujuan utamanya adalah melindungi konsumen sebagai pihak lemah terhadap pelaku usaha.

4.5 Penafsiran Komparatif

Penafsiran komparatif dilakukan dengan membandingkan bagaimana persoalan serupa diselesaikan di negara lain atau sistem hukum lain. Ini penting untuk isu lintas batas seperti hak asasi manusia, data pribadi, lingkungan hidup, atau ekonomi digital. Tujuannya bukan menyalin mentah-mentah hukum asing, tetapi menggunakan pengalaman negara lain sebagai referensi penalaran.

Contoh: Dalam sengketa tentang hak atas penghapusan data pribadi di internet, hakim dapat merujuk pada praktik negara lain yang telah mengakui “hak untuk dilupakan” sebagai bagian dari perlindungan privasi, lalu menjadikan itu bahan pertimbangan dalam menafsirkan hak privasi di Indonesia.

4.6 Penafsiran Antisipatif (Futuristis)

Penafsiran antisipatif digunakan ketika suatu masalah hukum muncul sebelum aturan relevan resmi berlaku. Hakim dapat menggunakan rancangan undang-undang atau kebijakan baru sebagai pedoman, terutama dalam bidang yang berkembang cepat seperti data pribadi, keamanan siber, atau layanan digital.

Contoh: Sengketa terkait penyalahgunaan data pengguna aplikasi daring terjadi sebelum aturan perlindungan data pribadi disahkan. Hakim dapat merujuk pada prinsip dalam rancangan undang-undang perlindungan data pribadi, seperti hak atas persetujuan, hak akses, dan pembatasan pemrosesan data, untuk menentukan batas perilaku yang dapat diterima.

4.7 Penafsiran Otentik (Sahih)

Penafsiran otentik adalah penafsiran resmi yang diberikan oleh pembentuk undang-undang di dalam undang-undang itu sendiri. Biasanya muncul dalam ketentuan umum atau penjelasan. Hakim tidak boleh menyimpang dari definisi otentik tersebut.

Contoh: Jika undang-undang mendefinisikan “pejabat pemerintah” sebagai orang yang memegang jabatan tertentu di instansi pemerintah, maka istilah itu tidak boleh diterapkan kepada konsultan swasta yang tidak termasuk dalam definisi tersebut. Hakim terikat pada definisi resmi.

4.8 Penafsiran Ekstensif

Penafsiran ekstensif memperluas makna suatu istilah hukum melampaui arti sempitnya agar hukum tetap dapat diterapkan pada fenomena baru yang secara substansial sama, meskipun belum disebut secara spesifik dalam undang-undang.

Contoh: Pasal pencurian menyebut “mengambil benda milik orang lain.” Secara harfiah, listrik bukan benda berwujud. Namun pengadilan menafsirkan bahwa listrik termasuk “benda” karena bernilai ekonomi dan dapat diambil tanpa izin. Hasilnya, pencurian listrik diperlakukan sama dengan pencurian barang.

4.9 Penafsiran Restriktif

Penafsiran restriktif mempersempit ruang lingkup suatu istilah agar tidak ditafsirkan terlalu luas. Tujuannya adalah menjaga agar penerapan norma tetap proporsional dan tidak melampaui maksud pembentuk undang-undang.

Contoh: Sebuah pasal menyebut “setiap kerugian harus diganti.” Jika ditafsirkan tanpa batas, orang bisa menuntut ganti rugi hanya karena perasaan tersinggung. Dengan penafsiran restriktif, hakim menafsirkan bahwa kerugian yang dimaksud hanyalah kerugian materiil yang nyata dan terukur, seperti kerusakan barang atau biaya pengobatan.

4.10 Penafsiran Analogis

Penafsiran analogis digunakan ketika suatu kasus belum diatur secara eksplisit, tetapi memiliki kesamaan esensial dengan kasus yang sudah diatur. Prinsipnya adalah bahwa dua peristiwa yang sama secara substansial patut diperlakukan sama secara hukum.

Contoh: Undang-undang melarang penggunaan kendaraan bermotor orang lain tanpa izin, tetapi tidak menyebut sepeda listrik. Seseorang mengambil sepeda listrik orang lain dan memakainya tanpa izin. Hakim menyamakan sepeda listrik dengan kendaraan bermotor karena sama-sama alat transportasi bernilai ekonomi, sehingga pasal tersebut diterapkan melalui analogi.

4.11 Penafsiran A Contrario

Penafsiran a contrario dilakukan dengan menarik kesimpulan dari kebalikan bunyi aturan. Jika undang-undang menyatakan bahwa sesuatu hanya boleh dilakukan dalam keadaan tertentu, maka di luar keadaan itu dianggap tidak boleh.

Contoh: Pasal menyatakan “hanya dokter berlisensi yang boleh melakukan tindakan medis invasif.” Secara a contrario, siapa pun yang bukan dokter berlisensi tidak boleh melakukan tindakan medis invasif. Undang-undang tidak perlu menyebut satu per satu siapa saja yang dilarang. Cukup menyebut siapa yang boleh, sisanya otomatis tidak boleh.

5. Pendekatan Besar dalam Penafsiran

Secara teori, metode penafsiran dikelompokkan menjadi dua aliran besar.

Textualist Approach

Textualist approach adalah pendekatan yang berfokus pada bunyi teks. Penafsir memulai dari redaksi undang-undang sebagaimana tertulis. Contohnya adalah penafsiran gramatikal dan penafsiran otentik. Pendekatan ini memberikan kepastian hukum karena mengikuti rumusan pasal secara literal dan mencegah subjektivitas yang berlebihan.

Purposive Approach

Purposive approach adalah pendekatan yang berfokus pada tujuan dan fungsi sosial suatu aturan. Pendekatan ini bertanya untuk apa norma itu dibuat dan bagaimana norma itu seharusnya bekerja dalam masyarakat sekarang. Contohnya adalah penafsiran historis, sistematis, teleologis, komparatif, dan antisipatif. Pendekatan ini menjaga agar hukum tidak kaku, tetapi tetap hidup mengikuti kebutuhan masyarakat.

Dalam praktik, hakim sering mengombinasikan keduanya. Hakim dapat memulai dari teks suatu pasal, lalu memeriksa tujuan sosialnya, kemudian menilai akibat penerapannya bagi keadilan masyarakat.

6. Peran Hakim dalam Penafsiran

Hakim tidak hanya membaca pasal, tetapi juga memilih metode penafsiran dan bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Tidak ada aturan yang mewajibkan hakim selalu memakai satu metode tertentu. Dua hakim bisa menggunakan metode berbeda terhadap kasus yang sama dan sampai pada hasil yang berbeda pula.

Pada akhirnya, hakim akan memilih metode penafsiran yang paling adil, paling rasional, dan paling dapat diterima oleh masyarakat. Karena itu, penafsiran hukum bukan pekerjaan mekanis, melainkan tanggung jawab intelektual dan moral.

7. Kesimpulan

Penafsiran hukum adalah proses memberikan makna terhadap ketentuan hukum agar dapat diterapkan pada kasus konkret. Penafsiran diperlukan karena bahasa undang-undang sering tidak cukup jelas untuk menghadapi kenyataan sosial. Tujuannya meliputi menemukan makna norma, menyesuaikan hukum dengan perkembangan masyarakat, menghindari kekosongan hukum, serta menjamin keadilan dan kepastian hukum.

Berbagai metode penafsiran seperti gramatikal, historis, sistematis, teleologis, komparatif, antisipatif, otentik, ekstensif, restriktif, analogis, dan a contrario digunakan sesuai konteksnya. Tidak ada satu metode yang paling benar untuk semua kasus. Hakim harus menimbang konteks, nilai sosial, dan tujuan hukum yang ingin dicapai. Melalui penafsiran, hakim menjaga agar hukum tetap hidup, relevan, dan berkeadilan dalam kehidupan masyarakat.



No comments:

Post a Comment