Pengakuan dalam Hukum Internasional

Ilustrasi simbolis pengakuan dalam hukum internasional: dua diplomat berjabat tangan di depan bendera PBB, dengan globe dunia, buku hukum bertuliskan “Pengakuan”, palu hakim, dan dokumen traktat di latar depan, serta siluet sidang pengadilan internasional di latar belakang.

Pendahuluan

Salah satu persoalan klasik dalam hukum internasional adalah pengakuan. Ketika sebuah entitas mengklaim diri sebagai negara baru atau pemerintahan baru muncul akibat kudeta atau revolusi, maka pertanyaan utama yang muncul adalah: apakah entitas atau pemerintahan tersebut sah menurut hukum internasional? Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada proses pengakuan oleh negara-negara lain atau oleh komunitas internasional.

Pengakuan bukan hanya soal legalitas, tetapi juga berkelindan dengan kepentingan politik, legitimasi moral, dan dinamika geopolitik. Artikel ini akan membahas secara mendalam konsep pengakuan dalam hukum internasional, jenis-jenisnya, teori yang melandasinya, hingga contoh-contoh kasus kontemporer.


1. Definisi dan Pentingnya Pengakuan dalam Hukum Internasional

a. Apa itu Pengakuan?

Pengakuan dalam konteks hukum internasional adalah tindakan sepihak oleh satu negara yang menyatakan pengakuan terhadap eksistensi negara atau pemerintahan baru sebagai entitas hukum internasional.

b. Mengapa Pengakuan Penting?

  • Menentukan kelangsungan hubungan diplomatik dan ekonomi.
  • Menentukan hak dan kewajiban dalam hukum internasional.
  • Mempengaruhi keanggotaan dalam organisasi internasional.
  • Mempengaruhi kemampuan negara/pemerintah baru untuk mengikat perjanjian internasional.


2. Teori Pengakuan dalam Hukum Internasional

a. Teori Deklaratif

Menurut teori ini, suatu entitas menjadi negara karena memenuhi syarat objektif tertentu (lihat: Konvensi Montevideo 1933), yaitu:

1. Penduduk tetap

2. Wilayah yang jelas

3. Pemerintah yang efektif

4. Kemampuan menjalin hubungan luar negeri

Pengakuan hanyalah tindakan deklaratif, tidak menciptakan keabsahan, melainkan hanya mengakui fakta yang sudah ada.

Implikasi:

Negara sudah eksis meskipun belum diakui secara luas.

Contoh: Taiwan memiliki semua elemen negara, tetapi banyak negara tidak mengakuinya karena tekanan politik dari Tiongkok.

b. Teori Konstitutif

Menurut teori ini, suatu entitas hanya menjadi negara jika mendapat pengakuan dari negara lain.

Implikasi:

Tanpa pengakuan, suatu entitas tidak dianggap sebagai subjek hukum internasional.

Contoh: Negara Palestina diakui oleh banyak negara, namun belum diakui oleh semua negara besar dan belum menjadi anggota penuh PBB.


3. Jenis-Jenis Pengakuan

a. Pengakuan Negara (Recognition of Statehood)

Merupakan pengakuan atas keberadaan entitas baru sebagai negara merdeka.

Contoh:

Pengakuan terhadap Kosovo (2008) oleh banyak negara Eropa, namun tidak oleh Serbia dan Rusia.

Eritrea, yang merdeka dari Ethiopia dan diakui sebagai negara pada 1993.

Baca juga Wilayah Negara, Kedaulatan, dan Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional 

b. Pengakuan Pemerintah (Recognition of Government)

Berlaku jika terjadi pergantian kekuasaan secara tidak konstitusional, seperti kudeta atau revolusi.

Faktor yang Dipertimbangkan:

  • Apakah pemerintahan baru efektif menguasai wilayah?
  • Apakah pemerintahan tersebut mampu memenuhi kewajiban internasional?
  • Apakah transisi kekuasaan sesuai dengan prinsip demokrasi dan HAM?

Contoh:

  • Rezim Taliban di Afghanistan (1996 dan 2021), sebagian negara masih belum mengakuinya.
  • Pengakuan terhadap pemerintahan Juan Guaidó vs Nicolás Maduro di Venezuela.


c. Pengakuan De Facto dan De Jure

De Facto: Pengakuan terbatas, mengakui keberadaan suatu entitas secara praktis, tetapi belum secara hukum penuh.

De Jure: Pengakuan penuh secara hukum dan politik.


4. Pengakuan dan Organisasi Internasional

a. PBB sebagai Referensi Pengakuan

Keanggotaan dalam PBB sering digunakan sebagai ukuran pengakuan internasional. Namun, keanggotaan PBB memerlukan:

  • Rekomendasi Dewan Keamanan
  • Persetujuan 2/3 Majelis Umum

Contoh: Palestina saat ini hanya menjadi negara pengamat non-anggota, belum menjadi anggota penuh.


b. Pengaruh Keanggotaan Organisasi Internasional Lain

Bergabung dengan organisasi seperti WHO, UNESCO, atau ASEAN juga menunjukkan pengakuan politik meskipun tidak selalu hukum penuh.


5. Masalah Politik dalam Pengakuan

Pengakuan sangat politis. Negara dapat menolak mengakui entitas baru bukan karena tidak memenuhi syarat objektif, tetapi karena alasan politik.

Contoh kasus:

  • Taiwan: Meskipun memiliki pemerintahan demokratis dan ekonomi kuat, tekanan dari Tiongkok membuat mayoritas negara enggan mengakui Taiwan sebagai negara.
  • Krimea: Diakui oleh Rusia sebagai bagian dari wilayahnya, tetapi sebagian besar komunitas internasional tidak mengakuinya dan tetap menganggapnya bagian dari Ukraina.
  • Sahara Barat: Diakui oleh beberapa negara sebagai negara merdeka (Republik Demokratik Arab Sahrawi), namun sebagian besar masih menganggap wilayah tersebut sebagai bagian dari Maroko.


6. Pengakuan dan Prinsip Non-Intervensi

Hukum internasional menganut prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri negara lain. Oleh karena itu, pengakuan pemerintahan baru dapat dianggap sebagai pelanggaran jika dilakukan terlalu dini atau dengan maksud mencampuri urusan internal negara lain.

Contoh: Pengakuan terhadap pemerintahan pemberontak atau hasil kudeta yang belum stabil.


7. Indonesia dan Isu Pengakuan

a. Pengakuan terhadap Indonesia

Indonesia mendapatkan pengakuan internasional secara bertahap:

  • De facto: oleh Mesir (1947)
  • De jure: oleh India, Uni Soviet, dan akhirnya Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (1949)

b. Sikap Indonesia terhadap Isu Global

Indonesia belum mengakui Kosovo dan tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan, sejalan dengan prinsip satu Tiongkok.

Namun, Indonesia mengakui Palestina dan aktif mendukung kemerdekaannya secara konsisten di forum internasional.


8. Konsekuensi Hukum dari Pengakuan

Negara atau pemerintahan yang diakui dapat mengakses dana internasional, melakukan perjanjian, dan menuntut atau dituntut di forum internasional.

Tidak adanya pengakuan dapat mengisolasi entitas dan membatasi partisipasinya dalam sistem internasional.


Kesimpulan

Pengakuan dalam hukum internasional adalah instrumen penting untuk menentukan status hukum suatu entitas atau pemerintahan. Namun, pengakuan tidak semata-mata berdasarkan hukum, melainkan sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik dan konstelasi internasional. Meskipun teori deklaratif menekankan objektivitas, praktik pengakuan menunjukkan bahwa realitas hukum sering kali tunduk pada kepentingan politik global. Pemahaman terhadap dinamika ini penting untuk menganalisis perkembangan hubungan internasional kontemporer.

أحدث أقدم

نموذج الاتصال