1. Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini mengeluarkan putusan yang sangat penting dalam lanskap demokrasi Indonesia: penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Putusan ini bukan hanya berdampak pada aspek teknis pelaksanaan pemilu, tetapi juga berimplikasi besar terhadap desain sistem ketatanegaraan kita, khususnya pada prinsip demokrasi yang representatif dan inklusif.
Dalam sistem yang selama ini berlaku, pembatasan tersebut kerap dianggap menghalangi munculnya calon-calon alternatif yang potensial, membatasi hak partisipasi politik warga negara, serta memperkuat dominasi oligarki partai besar. Dengan dibatalkannya ketentuan ini oleh MK, terjadi pergeseran paradigma penting dalam sistem pemilihan umum Indonesia.
2. Latar Belakang & Isi Putusan MK
Presidential threshold adalah syarat minimal yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Berdasarkan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hanya partai atau gabungan partai yang memperoleh minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya yang dapat mengusung pasangan calon presiden.
Putusan MK terbaru (misalnya Putusan Nomor XX/PUU-XX/2024) membatalkan ketentuan ini dengan alasan bahwa pembatasan semacam itu tidak memiliki dasar konstitusional yang kuat. MK menilai bahwa ketentuan presidential threshold justru bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, terutama Pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat dan Pasal 6A ayat (2) tentang pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
3. Analisis Hukum
Dari sudut pandang hukum tata negara, penghapusan presidential threshold bisa dibaca sebagai peneguhan prinsip inklusivitas dan kesetaraan dalam pemilihan umum. Tanpa threshold, peluang lebih terbuka bagi figur-figur potensial yang selama ini terkendala syarat dukungan partai.
Namun, pertanyaan kuncinya: apakah ini sesuai dengan semangat konstitusi? Jawabannya cenderung positif, sebab prinsip pemilu dalam UUD 1945 tidak menyebut batasan dukungan sebagai prasyarat pencalonan presiden.
Dalam praktik internasional, sistem presidensial di Amerika Serikat, Brasil, maupun Filipina tidak menerapkan threshold seperti di Indonesia. Di AS, misalnya, siapa pun dapat mencalonkan diri sejauh memenuhi syarat administratif dan mendapat dukungan publik dalam pemilu pendahuluan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem presidensial sejatinya memberikan ruang lebih luas bagi kompetisi politik.
Meski demikian, pro-kontra tetap muncul. Pihak yang pro menganggap ini langkah menuju demokrasi yang lebih adil dan terbuka. Sementara pihak kontra menilai MK telah melampaui kewenangannya sebagai lembaga yudisial dengan membatalkan norma yang menjadi domain pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden).
Sebagai opini hukum, saya berpandangan bahwa penghapusan threshold adalah bentuk koreksi terhadap praktik yang selama ini tidak proporsional. MK menjalankan perannya dalam menjaga konstitusi dari penyimpangan yang bersifat eksklusif dan elitis.
4. Implikasi Politik dan Demokrasi
Penghapusan presidential threshold membuka kemungkinan munculnya lebih banyak calon presiden dalam kontestasi politik. Secara teoritis, ini memperluas pilihan rakyat dan memperkaya wacana demokrasi.
Namun, risiko fragmentasi politik juga nyata. Terlalu banyak calon dapat memecah suara rakyat dan menyebabkan pemilu berjalan dua putaran secara terus-menerus, yang berbiaya tinggi dan berpotensi memperpanjang polarisasi politik.
Dampak lain adalah tergesernya peran partai besar dalam menentukan arah koalisi. Partai-partai kecil bisa mengusung calon sendiri atau bergabung dalam poros alternatif yang lebih dinamis. Ini bisa memperkuat sistem multipartai, namun sekaligus memperlemah stabilitas politik jika tidak disertai dengan pendidikan politik yang memadai.
5. Penutup dan Rekomendasi
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang penghapusan presidential threshold merupakan langkah penting menuju demokrasi yang lebih terbuka dan inklusif. Namun, langkah ini harus ditindaklanjuti dengan regulasi teknis yang tepat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), agar implementasinya tidak menimbulkan kebingungan atau ketidakpastian hukum.
Saya merekomendasikan agar:
-
DPR segera merevisi UU Pemilu untuk menyesuaikan dengan putusan MK;
-
KPU menyusun pedoman teknis yang transparan dan operasional;
-
Pemerintah dan masyarakat sipil memperkuat pendidikan politik untuk memastikan partisipasi pemilih yang rasional dan bertanggung jawab.
Demokrasi tidak bisa dijaga hanya dengan prosedur. Ia memerlukan institusi yang kuat, budaya politik yang matang, dan warga negara yang melek hukum dan kritis. Dalam konteks itu, putusan MK ini adalah peluang emas, asal tidak disia-siakan.