Kelas Hukum Online – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan delapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi perizinan tenaga kerja asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Kasus ini mencuat ke publik setelah KPK mengungkap adanya dugaan praktik pemerasan dan gratifikasi yang terstruktur dalam proses penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) dan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
Latar Belakang Kasus
Penyidikan KPK bermula dari laporan masyarakat terkait dugaan penyimpangan dalam pelayanan perizinan TKA. Investigasi awal mengarah pada Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, khususnya di lingkungan Direktorat Pembinaan Penggunaan TKA (PPTKA) Kemnaker.
Dalam prosesnya, penyidik menemukan bahwa praktik korupsi ini berlangsung sistematis, dengan dugaan pemerasan yang dilakukan oleh pejabat di lingkungan Kemnaker terhadap perusahaan-perusahaan pemohon izin TKA. Dana hasil pemerasan tersebut diduga disalurkan kepada sejumlah pegawai.
Penetapan Tersangka dan Jumlah Dana
Pada awal Juni 2025, KPK resmi menetapkan delapan orang sebagai tersangka. Para tersangka berasal dari internal Kemnaker, termasuk pejabat dan staf pada Direktorat PPTKA. Mereka diduga secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dalam bentuk pemerasan dan gratifikasi.
Hasil audit dan penelusuran aliran dana menunjukkan total gratifikasi yang terkumpul mencapai Rp53,7 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp8,94 miliar diketahui mengalir kepada 85 pegawai Kemnaker, baik melalui transfer langsung maupun pemberian tunai.
Modus Operandi
Modus yang dilakukan para tersangka adalah dengan mempersulit proses pengajuan izin RPTKA dan IMTA, serta memberikan “akses cepat” kepada perusahaan yang bersedia memberikan sejumlah uang di luar biaya resmi. Meskipun Kemnaker telah menerapkan sistem perizinan online, beberapa langkah teknis masih memungkinkan terjadinya intervensi manual, sehingga membuka ruang untuk korupsi.
Para pemohon izin yang ingin menghindari proses panjang atau memperoleh izin dalam waktu cepat diminta untuk membayar pungutan tidak resmi. Uang tersebut kemudian dibagikan secara terstruktur kepada berbagai pihak di internal Kemnaker.
Sistem Online Tak Menutup Celah
KPK menilai bahwa penerapan sistem digital dalam pelayanan publik, termasuk perizinan TKA, belum sepenuhnya menutup celah korupsi. Sistem e-RPTKA dan e-IMTA yang saat ini digunakan masih dapat dimanipulasi oleh oknum dengan jabatan tertentu.
KPK juga mengidentifikasi bahwa belum adanya integrasi sistem pengawasan internal yang ketat membuat mekanisme penyaluran dana tidak sah ini dapat berlangsung cukup lama tanpa terdeteksi.
Keterlibatan Lebih Luas
Dalam rangka mengusut lebih lanjut, KPK akan memanggil sejumlah pejabat tinggi Kemnaker dari berbagai periode, termasuk mantan Menteri Ketenagakerjaan. Hal ini bertujuan untuk mengungkap sejauh mana sistem ini sudah berlangsung dan apakah ada pengaruh kebijakan dari tingkat pimpinan kementerian.
Menteri-menteri yang akan dipanggil meliputi:
-
Muhaimin Iskandar (periode 2009–2014)
-
Hanif Dhakiri (2014–2019)
-
Ida Fauziyah (2019–2024)
-
Yassierli (2024–sekarang)
Langkah ini diambil karena praktik dugaan korupsi tersebut diduga telah berlangsung sejak lama dan melibatkan sistem yang dibangun lintas periode kepemimpinan.
Rekomendasi KPK
Dalam keterangannya, KPK menyampaikan beberapa rekomendasi strategis agar praktik serupa tidak terulang:
-
Meningkatkan sistem pengawasan internal di setiap direktorat.
-
Menghapuskan peluang diskresi pejabat dalam proses perizinan.
-
Mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi secara menyeluruh dan transparan.
-
Membangun layanan terpadu satu pintu (one-stop service) agar proses perizinan lebih terkonsolidasi.
KPK juga menyarankan agar sistem digital yang digunakan dapat mencatat seluruh jejak digital (digital audit trail), yang tidak hanya mencatat transaksi akhir, tetapi juga interaksi dan pengubahan data di dalam sistem.
Baca juga Pemerintah Cabut Ribuan Izin Tambang Bermasalah
Dampak terhadap Pelayanan Publik
Kasus ini telah menimbulkan dampak negatif terhadap kepercayaan publik terhadap layanan Kemnaker. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan TKA menjadi ragu terhadap integritas sistem perizinan yang berlaku, sementara pegawai di internal Kemnaker yang tidak terlibat juga turut merasakan dampak sosial dan psikologis akibat skandal ini.
Kementerian PAN-RB menyatakan akan turut mengevaluasi sistem kerja dan kinerja pelayanan publik di Kemnaker. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi titik lemah sistem yang membuka celah penyimpangan, sekaligus mendukung reformasi birokrasi secara menyeluruh.
Penanganan dan Proses Hukum
Saat ini para tersangka telah ditahan oleh KPK untuk keperluan penyidikan lanjutan. Berkas perkara tengah disusun dan akan segera dilimpahkan ke tahap penuntutan. Selain delapan tersangka awal, KPK tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka tambahan tergantung dari hasil pendalaman barang bukti dan pemeriksaan lanjutan.
Bukti yang telah disita antara lain dokumen pengajuan izin, data transaksi keuangan, rekaman CCTV, serta keterangan dari para saksi dan pelapor.
KPK mengajak masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan untuk aktif melaporkan apabila menemukan indikasi praktik pungutan liar atau korupsi dalam sektor pelayanan publik.
Penutup
Kasus dugaan korupsi perizinan TKA di Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa reformasi digital tidak serta-merta menghapus praktik koruptif apabila tidak dibarengi dengan pengawasan yang ketat dan akuntabilitas sistem. KPK berharap penanganan kasus ini dapat menjadi titik balik untuk memperbaiki sistem pelayanan publik, khususnya di bidang ketenagakerjaan dan perizinan asing.