Pendahuluan
Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional merupakan salah satu tema sentral dalam studi hukum internasional modern. Dalam era globalisasi, ketika perjanjian internasional dan prinsip-prinsip hukum global semakin mempengaruhi hukum domestik, pemahaman mengenai interaksi kedua sistem ini menjadi sangat penting. Bagaimana sebuah negara menyesuaikan hukum nasionalnya terhadap kewajiban internasional? Apakah hukum internasional langsung berlaku dalam sistem hukum nasional? Bagaimana Indonesia menyikapi hal ini?
Artikel ini membahas hubungan teoritis dan praktis antara hukum internasional dan hukum nasional, termasuk pendekatan-pendekatan utama, potensi konflik, dan penerapannya dalam konteks hukum Indonesia.
1. Pengertian dan Signifikansi Hubungan Hukum Internasional dan Nasional
Hubungan antara hukum internasional dan nasional berkaitan dengan bagaimana norma-norma hukum yang berlaku di tingkat internasional diinternalisasi, diterapkan, atau bahkan ditolak oleh sistem hukum nasional suatu negara. Hubungan ini penting karena:
-
Negara adalah subjek utama hukum internasional.
-
Implementasi hukum internasional memerlukan tindakan oleh organ nasional.
-
Konflik kepentingan dapat muncul, terutama jika norma internasional bertentangan dengan norma domestik.
2. Dua Pendekatan Teoretis: Monisme dan Dualisme
a. Monisme
Monisme berpandangan bahwa hukum internasional dan hukum nasional adalah satu kesatuan sistem hukum. Dalam pendekatan ini, hukum internasional secara otomatis berlaku dalam sistem hukum nasional tanpa memerlukan adopsi khusus.
Ciri-ciri:
-
Tidak ada pemisahan antara hukum nasional dan internasional.
-
Perjanjian internasional langsung berlaku (self-executing).
-
Jika ada konflik, hukum internasional bisa diutamakan.
Negara penganut monisme: Belanda, Jerman (dalam beberapa interpretasi), dan Afrika Selatan.
b. Dualisme
Dualisme menganggap hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah. Dalam sistem ini, hukum internasional harus diadopsi terlebih dahulu melalui undang-undang nasional agar berlaku secara efektif.
Ciri-ciri:
-
Adanya proses transformasi (conversion law).
-
Hukum nasional lebih diutamakan jika terjadi konflik.
-
Hukum internasional dianggap tidak langsung mengikat individu.
Negara penganut dualisme: Inggris, Australia, dan Indonesia (dalam praktik).
3. Teori Tambahan: Harmonisasi Dinamis dan Fragmentasi
Dalam perkembangan modern, pendekatan harmonisasi mulai muncul. Pendekatan ini menekankan pentingnya menjembatani perbedaan antara hukum internasional dan nasional melalui interpretasi konstitusional, reformasi hukum, dan pendekatan integratif.
Sementara itu, globalisasi dan banyaknya rezim hukum (HAM, lingkungan, perdagangan, dll.) telah menimbulkan fragmentasi yang menyulitkan penerapan prinsip tunggal antara dua sistem hukum ini.
4. Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional dalam Sistem Hukum Indonesia
a. Dasar Konstitusional
Pasal 11 UUD 1945 mengatur kewenangan Presiden dalam membuat perjanjian internasional, namun implementasinya dijabarkan dalam undang-undang dan peraturan pelaksana.
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyebutkan bahwa tidak semua perjanjian internasional langsung berlaku, kecuali telah diratifikasi.
b. Ratifikasi sebagai Proses Transformasi
Indonesia menganut prinsip dualisme terbatas. Ini berarti bahwa perjanjian internasional, agar memiliki kekuatan hukum, harus diratifikasi terlebih dahulu melalui UU atau Perpres, tergantung dari isinya.
Contoh:
-
Konvensi PBB tentang Hak Anak (CRC) → Diratifikasi dengan Keppres No. 36 Tahun 1990.
-
Perjanjian Paris (Perubahan Iklim) → Diratifikasi dengan UU No. 16 Tahun 2016.
c. Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya telah mengakui bahwa prinsip-prinsip hukum internasional bisa dijadikan rujukan interpretatif dalam menguji UU, khususnya dalam konteks HAM.
5. Konflik antara Hukum Internasional dan Nasional
Terkadang, norma internasional bertentangan dengan peraturan domestik. Dalam situasi seperti ini, negara dihadapkan pada dilema konstitusional dan politik.
Contoh konflik:
-
Eksekusi hukuman mati vs. kewajiban HAM internasional
-
UU Migas dan WTO (perdagangan bebas)
-
Pengungsi Rohingya dan kewajiban non-refoulement
Pendekatan yang lazim digunakan adalah prinsip harmonisasi konstitusional, yakni menafsirkan norma nasional sedekat mungkin dengan kewajiban internasional.
Baca juga Penyelesaian Sengketa Internasional
6. Aplikasi Praktis dalam Peradilan Indonesia
a. Mahkamah Konstitusi
Sering mengutip hukum internasional, khususnya perjanjian HAM, dalam putusannya, meskipun tidak secara eksplisit menyatakan bahwa norma internasional mengikat langsung.
Contoh: Putusan MK No. 006/PUU-III/2005 tentang perlindungan data pribadi.
b. Mahkamah Agung
Sering menggunakan hukum internasional sebagai acuan tambahan (soft law), khususnya dalam kasus-kasus perdagangan, lingkungan, dan arbitrase.
c. Peradilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, prinsip-prinsip dari Statuta Roma digunakan sebagai referensi substantif.
7. Tantangan Implementasi
-
Kurangnya pemahaman aparat hukum tentang norma internasional
-
Minimnya pelatihan hakim dan jaksa dalam hukum internasional
-
Keterbatasan akses publik terhadap teks perjanjian dan instrumen hukum internasional
-
Potensi pertentangan antara nilai lokal dengan norma global
8. Implikasi dan Rekomendasi
-
Peningkatan kapasitas lembaga hukum dan pendidikan hukum dalam memahami dan menerapkan hukum internasional.
-
Perluasan keterlibatan masyarakat sipil dalam proses ratifikasi dan pemantauan implementasi.
-
Revisi UU terkait ratifikasi agar lebih inklusif dan partisipatif.
-
Penguatan posisi konstitusi sebagai jembatan antara hukum nasional dan internasional.
Kesimpulan
Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional bukanlah hubungan yang bersifat hierarkis absolut, melainkan relasi yang dinamis dan kontekstual. Indonesia, meskipun secara praktik menganut dualisme, semakin menunjukkan kecenderungan harmonisasi. Tantangan tetap ada, tetapi dengan komitmen dan pendekatan konstitusional yang progresif, hukum internasional dan nasional dapat bersinergi dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.