DPR Kritik Putusan MK Soal Pemilu: Dinilai Langgar Konstitusi, Seluruh Fraksi Kompak Tolak

Anggota DPR RI mengenakan pakaian formal mengangkat tangan serempak dalam rapat paripurna, menunjukkan penolakan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi; ruang sidang dihiasi lambang Garuda di dinding depan.

Kelas Hukum Online – Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan pernyataan tegas bahwa seluruh fraksi di DPR menolak dan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi, khususnya Pasal 22E UUD 1945.

Pernyataan tersebut disampaikan usai rapat bersama pimpinan DPR dan fraksi-fraksi, menyusul putusan MK yang menyatakan pemilu legislatif dan pemilu kepala daerah dapat diselenggarakan secara terpisah, dengan jarak dua tahun: nasional pada 2029 dan lokal pada 2031.

1. Dasar Penolakan DPR: Bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara serentak setiap lima tahun sekali untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Menurut DPR, putusan MK yang memisahkan dua jenis pemilu itu secara jelas bertentangan dengan norma dasar tersebut.

Ketua DPR menegaskan bahwa fraksi-fraksi telah menyepakati interpretasi yang sama: MK tidak boleh mengubah desain konstitusional pemilu lima tahunan menjadi dua tahapan berbeda tanpa proses amandemen UUD.

2. Fraksi Politik Bersatu dalam Kritik

Menariknya, perbedaan ideologi partai tidak menjadi penghalang dalam isu ini. Fraksi-fraksi besar seperti PDI-P, Golkar, Gerindra, PKB, Demokrat, hingga PKS menyatakan kekhawatiran terhadap konsekuensi hukum dan politik dari putusan tersebut.

Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR, pemisahan jadwal pemilu akan menciptakan:

a. Overlapping masa jabatan kepala daerah dan DPRD,
b. Kenaikan beban anggaran penyelenggaraan pemilu,
c. Kerancuan akuntabilitas publik, karena periode evaluasi pemerintah pusat dan daerah jadi berbeda.

3. Opsi Tindak Lanjut DPR: Legislasi atau Amandemen?

Dalam menyikapi putusan MK ini, DPR tengah mempertimbangkan dua jalur konstitusional:

a. Revisi UU Pemilu sebagai upaya penyesuaian yuridis,

b. Atau dorongan amandemen UUD 1945, bila dianggap bahwa putusan MK melewati batas tafsir.

DPR membuka ruang konsultasi publik dan akademik guna memastikan bahwa langkah lanjutan tidak justru menambah ketegangan antara cabang kekuasaan.

4. Implikasi Hukum dan Politik

Putusan MK ini memicu sejumlah turbulensi hukum. Jika tidak segera ditindaklanjuti dengan jelas, maka:

a. Akan terjadi perpanjangan jabatan kepala daerah secara administratif,
b. Dapat muncul potensi judicial review balik dari masyarakat atau partai yang dirugikan,
c. Bahkan membuka celah instabilitas pemilu, karena masa jabatan tidak lagi sinkron secara nasional.

5. Reaksi Pemerintah dan Masyarakat Sipil

Pemerintah pusat melalui Kemendagri menyatakan bahwa mereka masih dalam tahap pengkajian dan sinkronisasi data hukum atas putusan MK tersebut.

Sementara itu, berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti Perludem dan ICW, menyayangkan bahwa MK tidak membuka ruang partisipasi publik secara memadai sebelum membuat keputusan yang berdampak struktural terhadap sistem kepemiluan nasional.

Baca juga Operasi Patuh Jaya 2025: Era Penegakan Hukum Lalu Lintas Melalui Sistem ‘Hunting’ dan ETLE Mobile

6. Refleksi terhadap Fungsi MK

Kasus ini juga membuka kembali diskusi tentang batas tafsir Mahkamah Konstitusi. Dalam negara demokratis berbasis hukum, tafsir konstitusi seharusnya dilakukan secara progresif, tetapi tetap sesuai mandat naskah asli dan semangat pembentukannya.

Ketika tafsir menyentuh struktur politik dan jadwal pemilu, maka seharusnya itu menjadi domain pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), bukan kewenangan yudisial semata.

7. Peran Mahasiswa dan Akademisi Hukum

Para akademisi hukum tata negara dan mahasiswa hukum pun diimbau untuk mengawal isu ini dengan kritis. Ini merupakan momen penting untuk belajar:

a. Bagaimana interaksi antar-lembaga negara dalam sistem presidensial,
b. Bagaimana perubahan hukum harus tetap taat pada mekanisme demokrasi konstitusional.

8. Penutup: Menjaga Legitimasi Pemilu

Kritik DPR terhadap putusan MK menunjukkan bahwa kontrol horizontal antarlembaga masih berjalan. Namun, langkah berikutnya harus berbasis hukum yang sah dan partisipatif. Jangan sampai pemilu sebagai fondasi demokrasi justru tercederai karena ketidaksepahaman dalam tafsir konstitusi.

Kelas Hukum Online akan terus memantau dan menyampaikan perkembangan terbaru seputar proses hukum dan politik dari isu ini, demi menciptakan pemilu yang konstitusional, demokratis, dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.


أحدث أقدم

نموذج الاتصال