Pendahuluan
Hukum perjanjian merupakan bagian vital dalam sistem hukum perdata Indonesia. Perjanjian bukan hanya sebatas dokumen hukum, melainkan fondasi dari berbagai hubungan hukum dalam masyarakat, mulai dari jual beli, sewa-menyewa, hingga kerja sama bisnis. Dalam kehidupan sehari-hari, hampir setiap interaksi ekonomi memiliki dasar perjanjian, baik secara lisan maupun tertulis.
Sebagai kelanjutan dari pembahasan sebelumnya tentang hukum perikatan, artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai konsep perjanjian, asas-asas yang melandasinya, syarat sah, jenis, serta akibat hukum yang ditimbulkannya dalam praktik hukum perdata Indonesia.
1. Pengertian Perjanjian dalam Hukum Perdata
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian menjadi sumber utama lahirnya suatu perikatan dan berperan penting dalam menjamin kepastian hukum antar pihak.
Namun, definisi ini seringkali dianggap terlalu sempit karena tidak mencerminkan adanya hubungan timbal balik yang lazim dalam kontrak modern. Oleh karena itu, doktrin dan praktik hukum sering menggunakan definisi yang lebih luas, yaitu “suatu kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk menimbulkan akibat hukum.”
2. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian
Hukum perjanjian dibangun di atas beberapa asas fundamental yang tidak hanya menjadi prinsip moral, tetapi juga memiliki kekuatan hukum. Asas-asas tersebut antara lain:
a. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Pihak-pihak bebas untuk menentukan isi, bentuk, dan tujuan perjanjian, selama tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan.
b. Asas Konsensualisme
Perjanjian dianggap sah sejak tercapainya kesepakatan, tanpa harus berbentuk tertulis kecuali ditentukan oleh undang-undang (misalnya perjanjian jual beli tanah harus tertulis).
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Perjanjian yang telah disepakati berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Ini menegaskan bahwa isi perjanjian wajib dipenuhi sebagaimana mestinya.
d. Asas Itikad Baik (good faith)
Para pihak harus bertindak jujur dan adil, baik dalam tahap pembentukan maupun pelaksanaan perjanjian.
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:
-
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinyaTidak boleh ada unsur paksaan, penipuan, atau kekhilafan.
-
Kecakapan untuk membuat perikatanPihak-pihak yang membuat perjanjian harus telah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan.
-
Suatu hal tertentuObjek yang diperjanjikan harus jelas dan dapat ditentukan.
-
Sebab yang halalTujuan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, atau kesusilaan.
Kekurangan salah satu dari syarat ini dapat menyebabkan perjanjian batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
4. Jenis-Jenis Perjanjian
Dalam praktik, perjanjian diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria. Beberapa jenis penting antara lain:
-
Perjanjian Sepihak dan Timbal BalikSepihak bila hanya satu pihak yang berkewajiban (misalnya hibah), dan timbal balik bila kedua pihak saling berkewajiban (misalnya jual beli).
-
Perjanjian Bernama dan Tidak BernamaBernama jika sudah diatur dalam KUH Perdata (misalnya sewa-menyewa, pinjam-meminjam), tidak bernama jika tidak diatur secara khusus tetapi sah secara hukum.
-
Perjanjian Konsensual dan FormalKonsensual cukup dengan kesepakatan, sedangkan formal mensyaratkan bentuk tertentu (misalnya akta notaris).
5. Akibat Hukum dari Perjanjian
Perjanjian yang sah menimbulkan beberapa akibat hukum, yaitu:
-
Kewajiban untuk Melaksanakan PrestasiPara pihak terikat untuk memenuhi apa yang telah disepakati.
-
Ganti Rugi jika WanprestasiJika salah satu pihak lalai, maka pihak lain dapat menuntut ganti rugi, pembatalan perjanjian, atau pelaksanaan perjanjian melalui pengadilan.
-
Perjanjian Mengikat bagi Para PihakIsi perjanjian tidak dapat diubah secara sepihak dan hanya dapat diakhiri atas persetujuan bersama atau ketentuan hukum.
6. Pembatalan dan Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian dapat batal atau dibatalkan bila:
-
Tidak memenuhi syarat sah perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata).
-
Terjadi wanprestasi berat yang melanggar isi perjanjian.
-
Ada keadaan memaksa (force majeure) yang menyebabkan perjanjian tidak dapat dilaksanakan.
Perjanjian juga dapat berakhir karena:
-
Telah dilaksanakan sepenuhnya.
-
Jangka waktu perjanjian habis.
-
Salah satu pihak meninggal dunia (untuk perjanjian yang bersifat personal).
Penutup
Hukum perjanjian merupakan sendi utama dalam hukum perdata, sekaligus cerminan penting dari kebebasan individu dalam masyarakat. Dengan memahami asas, syarat sah, serta akibat hukum dari suatu perjanjian, masyarakat dapat lebih bijak dalam menjalani interaksi hukum secara adil dan setara.
Pemahaman ini tidak hanya penting bagi praktisi hukum, namun juga bagi masyarakat umum dalam menghindari konflik dan meningkatkan kepastian hukum dalam kehidupan sehari-hari.