Kejagung: PP Justice Collaborator Jadi Pemacu Ungkap Kasus Besar

Pejabat Kejaksaan Agung berbicara di podium dengan teks “Kejagung: PP Justice Collaborator Jadi Pemacu Ungkap Kasus Besar”, dilengkapi ikon timbangan keadilan dan gedung pengadilan

Kelas Hukum Online – Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan respons positif terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 terkait justice collaborator (JC), yang resmi ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 8 Mei 2025. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa beleid ini menjadi alat strategis untuk mempercepat pengungkapan kasus-kasus pidana besar.

1. Tujuan dan Fungsi Pelaksanaannya

Menurut Harli, PP ini bertujuan memberikan jaminan hukum dan insentif bagi saksi pelaku yang membantu aparat penegak hukum, seperti jaksa dan penyidik, dalam menyingkap kejahatan. Adanya stimulus berupa keringanan hukuman atau pembebasan bersyarat diharapkan membuka keberanian saksi untuk mengungkap fakta—terutama yang melibatkan aktor utama kejahatan.

“Kejagung menilai PP ini akan menjadi alat pacu bagi mereka yang mengetahui tindak pidana untuk membuka fakta secara terang,” ujar Harli.

2. Mekanisme Penghargaan JC

Beleid ini mengamanatkan dua bentuk penghargaan bagi JC:
a. Keringanan hukuman pidana
b. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, atau hak narapidana lainnya sesuai UU.

Lebih jauh, proses ini dikombinasikan dengan mekanisme pemisahan tahanan dan pemberkasan, serta syarat administrasi dan substansi yang jelas untuk mendapat status JC.

3. Dukungan DPR dan DPR

Anggota Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyambut regulasi ini sebagai peluang untuk menjerat otak kejahatan, bukan hanya ‘ikan teri’ yaitu pelaku kecil. Legislator dari Golkar, Soedeson Tandra, juga mendesak agar pemilihan JC diawasi secara ketat agar tepat sasaran.

Baca juga Ahli Hukum Kritik PP Justice Collaborator

4. KPK: Selektif dan Hati-Hati

KPK juga merespons positif namun menekankan perlunya selektivitas. Juru bicara Budi Prasetyo menyatakan bahwa kriteria JC harus ketat, hanya diberikan kepada pelaku yang benar-benar membantu membuka peristiwa pidana utama. Selain itu, JC diwajibkan mengembalikan aset hasil kejahatan sebagai bagian dari penghargaan.

5. Tantangan dan Kritik Publik

Beberapa ahli hukum memperingatkan potensi intervensi dalam ranah peradilan oleh eksekutif. PP berbasis eksekutif ini dianggap rawan menimbulkan kesan presiden ikut menentukan hukuman, sesuatu yang secara hukum semestinya berada di tangan hakim saja.

Kehati-hatian juga diperlukan agar mekanisme ini tidak disalahgunakan untuk gratifikasi atau kesepakatan politik terselubung, sehingga mencederai prinsip keadilan.

6. Implikasi Penegakan Hukum

Ke depan, keberhasilan PP JC sangat bergantung pada regulasi turunan dan implementasi di lapangan:

  • Penyidik, jaksa, dan LPSK harus merumuskan prosedur asesmen yang transparan.

  • Ada kebutuhan mendesak untuk monitoring publik dan audit independen.

  • Harus ada peraturan teknis untuk memastikan hakim memutus JC berdasarkan fakta dan kontribusi, bukan rekomendasi eksekutif.

7. Penegakan Kasus Besar sebagai Uji Coba

PP ini diuji saat diterapkan dalam kasus korupsi besar, seperti pengadaan alat kesehatan atau kasus mafia tanah. Jika mekanisme JC berjalan efektif, diharapkan membuka lapisan aktor kunci dalam jaringan kriminal terstruktur.

📌 Kesimpulan

PP Nomor 24 Tahun 2025 tentang justice collaborator dipandang sebagai langkah strategis dalam penegakan hukum, menghadirkan insentif bagi pelaku yang bersedia bicara. Namun, untuk menjaga keadilan, kader penegak hukum perlu mematuhi asas independensi peradilan dan memastikan mekanisme ini tidak disalahgunakan.

أحدث أقدم

نموذج الاتصال