Ahli Hukum Kritik PP Justice Collaborator

Gambar berita hukum: ahli hukum berbicara di podium, dengan teks “Ahli Hukum Kritik PP Justice Collaborator: Presiden Tidak Berwenang Atur Hukuman” dan ikon palu hakim serta gedung pengadilan

Kelas Hukum Online – Ahli Hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengkritik keras Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025, yang memberikan penghargaan berupa keringanan hukuman atau bebas bersyarat bagi saksi pelaku yang menjadi justice collaborator. Abdul menilai penerbitan PP tersebut kurang tepat karena dinilainya mencampuri ranah kekuasaan kehakiman.

1. Intervensi Eksekutif ke Kekuasaan Kehakiman

Menurut Abdul, pengaturan soal penjatuhan hukuman dan hukuman ringannya adalah domain hakim, bukan presiden atau eksekutif. PP tersebut justru menciptakan celah di mana Presiden bisa mengintervensi penegakan hukum, padahal hubungan antara eksekutif dan peradilan sudah secara tegas diatur agar independen .

“Presiden sebagai kepala eksekutif tidak bisa mencampuri ranah peradilan… Ini intervensi namanya,” tegas Abdul.

2. Justice Collaborator Sudah Diatur oleh UU

Abdul menambahkan bahwa konsep justice collaborator sebetulnya telah diatur dalam Undang‑Undang tentang Perlindungan Saksi, Pelaku, dan Korban. Menyusun aturan baru dalam bentuk PP, yang posisinya lebih rendah dari UU, justru membingungkan dan menurunkan kekuatan hukum dasar.

3. Batas Kekuasaan Presiden

Lebih lanjut, ia menyatakan presiden hanya punya hak atas grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Sementara memberikan keringanan langsung kepada justice collaborator tidak termasuk kekuasaan presiden. Menurutnya, hal itu melewati batas wewenang eksekutif.

4. Rincian PP No. 24 Tahun 2025

PP yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 8 Mei 2025 ini mengatur dua jenis penghargaan maksimal:

  • Keringanan hukuman pidana;

  • Hak bebas bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain bagi justice collaborator yang sudah berstatus narapidana.

Selain itu, PP tersebut memuat aturan tentang pemisahan tahanan, pemberkasan, dan prosedur permohonan justice collaborator via penyidik, jaksa, atau LPSK.

5. Respons Lembaga Hukum Lain

  • Kejaksaan Agung: menyambut positif PP tersebut sebagai alat untuk membantu penegakan hukum kasus besar seperti korupsi, narkoba, dan terorisme.

  • Anggota DPR: Nasir Djamil (PKS) memperingatkan agar PP digunakan untuk kasus besar, bukan untuk isu tersier .

  • KPK: akan lebih selektif dalam memberikan status JC agar hanya orang yang benar-benar membantu pengungkapan yang diberi keistimewaan.

6. Pertentangan Prinsip

PP tersebut menimbulkan perdebatan prinsip antara:

  • Asas independensi peradilan: apakah eksekutif berhak menetapkan reward/jatuhi hukuman?

  • Efektivitas penegakan hukum: apakah justice collaborator perlu insentif konkret agar mau bantu ungkap kasus besar?

7. Kesimpulan & Rekomendasi

Ahli hukum menekankan agar status justice collaborator tetap diatur oleh UU, bukan PP. Penegakan hukum perlu lebih menitikberatkan pada kemurnian peran peradilan, dengan eksekutif tidak ikut menentukan ranah sanksi. Jika PP ini tetap dijalankan, perlu pengawasan ketat agar tidak melewati wewenang dan tetap mengedepankan profesionalisme hukum.

Baca juga Staf Media Prabowo Rugi Puluhan Juta

أحدث أقدم

نموذج الاتصال