Pernyataan Wali Kota Gorontalo yang memperbolehkan UMKM berjualan di trotoar, terutama di sekitar Lapangan Buladu, Jalan Eks Andalas, dan Jalan Tanggidaa, memantik perdebatan serius tentang kepatuhan hukum dan tata kelola ruang publik. Niatnya adalah keberpihakan pada ekonomi rakyat kecil dengan memberi ruang usaha tanpa sewa, tetapi dampak di lapangan justru berupa kembalinya lapak ke trotoar dan keraguan aparatur dalam menegakkan aturan. Kondisi ini menempatkan kepentingan sebagian pedagang berhadapan dengan hak keselamatan, aksesibilitas, dan kenyamanan pejalan kaki yang seharusnya dijamin negara.
Dari sisi legalitas, hukum positif Indonesia menegaskan bahwa trotoar diperuntukkan bagi pejalan kaki dan tidak boleh dialihfungsikan untuk aktivitas perdagangan. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 menetapkan fungsi trotoar serta ancaman sanksi bagi gangguan terhadapnya. Permen PUPR No. 03/PRT/M/2014 memperjelas larangan alih fungsi. Pada tingkat daerah, Perda Kota Gorontalo No. 1 Tahun 2018 bersama Perwali No. 39 Tahun 2019 melarang transaksi pada lokasi yang tidak diperuntukkan bagi PKL, termasuk trotoar, serta memuat sanksi administratif. Ketika kepala daerah menyatakan diperbolehkannya aktivitas yang dilarang oleh norma yang lebih tinggi atau sederajat, timbul inkonsistensi vertikal dan horizontal yang melemahkan kepastian hukum dan otoritas regulasi yang berlaku.
Secara administratif, kebijakan publik tidak identik dengan pernyataan sikap. Kebijakan menuntut produk formil, seperti peraturan, keputusan, atau surat edaran, menuntut proses kebijakan yang dapat ditelusuri, seperti identifikasi masalah, kajian hukum dan teknis, konsultasi publik, serta desain implementasi, dan menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Pernyataan lisan melalui media tanpa instrumen formil tidak memenuhi standar tersebut. Dampak yang terlihat di lapangan hanya berupa akibat faktual, misalnya lapak muncul dan penertiban melemah, tanpa mengubah norma. Oleh karena itu, pernyataan tersebut lebih tepat dipandang sebagai policy statement de facto yang tetap menimbulkan tanggung jawab etik dan administratif bagi pejabat, namun tidak sah sebagai beleid yang dapat mengesampingkan aturan yang ada.
Argumen diskresi kepala daerah juga tidak memadai. UU No. 30 Tahun 2014 memperbolehkan diskresi untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberi kepastian, atau mengatasi stagnasi, dengan syarat tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik, berbasis alasan objektif, bebas konflik kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik. Dalam kasus ini tidak terdapat kekosongan hukum. Larangan telah tegas pada tingkat undang-undang, pedoman teknis, perda, dan perwali. Alih-alih melancarkan kinerja, pernyataan tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi Satpol PP dan publik, sehingga gagal memenuhi tujuan maupun syarat diskresi yang sah. Dari perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik, tindakan ini bermasalah pada asas kepastian hukum, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Kepentingan sebagian pedagang tidak dapat mengorbankan hak publik yang lebih luas atas keselamatan dan keteraturan sirkulasi pejalan kaki, terlebih tanpa kajian dampak lalu lintas, keselamatan, dan lingkungan yang memadai.
Dampak tata kelola tidak bisa diabaikan. Ketika perintah lisan pejabat bertentangan dengan regulasi yang masih berlaku, aparatur penegak menjadi gamang, standar ganda muncul, dan kepatuhan publik terkikis. Dalam jangka menengah, hal ini berpotensi memperuncing konflik ruang antara pejalan kaki, pedagang, dan pengguna jalan lainnya, serta menurunkan kualitas lingkungan perkotaan. Karena itu, solusi yang bertanggung jawab adalah menyalurkan keberpihakan pada UMKM melalui penataan zona ekonomi rakyat di ruang publik non trotoar, misalnya taman kota, halaman stadion, area parkir publik, atau lahan pemerintah yang belum termanfaatkan, berdasarkan kajian tata ruang, keselamatan, dan lingkungan. Penetapan zona tersebut sebaiknya dituangkan dalam Keputusan atau Peraturan Wali Kota, dilengkapi tata tertib operasional, seperti jam usaha, kapasitas, koridor pejalan kaki, aksesibilitas disabilitas, dan standar kebersihan. Skema perizinan perlu sederhana dan murah, desain fisik kios portabel harus rapi dan aman, penegakan dilakukan secara konsisten dan edukatif, serta pemerintah menyediakan dukungan pemberdayaan seperti legalitas usaha, pembayaran nontunai, kurasi produk, dan promosi lokasi resmi.

No comments:
Post a Comment