Minim Partisipasi Publik dalam Pembahasan RUU KUHAP: Kritik terhadap Proses Legislasi Pidana

Ilustrasi seorang perempuan mengangkat tangan di ruang sidang membahas RUU KUHAP, dengan buku hukum, palu hakim, dan sosok-sosok politisi di latar belakang yang terlihat pasif.

Kelas Hukum Online — Proses pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sedang berlangsung menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat sipil. Salah satu isu sentral yang menjadi sorotan adalah minimnya partisipasi publik secara substansial dalam perumusan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut.

Di tengah gencarnya reformasi hukum yang digaungkan pemerintah, proses legislasi RUU KUHAP justru mencerminkan persoalan klasik yang masih melekat dalam sistem demokrasi perwakilan di Indonesia: kurangnya ruang deliberatif dan dialogis bagi publik untuk ikut membentuk arah hukum nasional.

1. Antara Keterbukaan dan Formalitas

Meski secara prosedural DPR dan pemerintah telah membuka ruang untuk konsultasi publik, banyak kalangan menilai hal itu sebatas formalitas. Publik memang diberi kesempatan menyampaikan aspirasi, namun tidak ada jaminan bahwa masukan tersebut benar-benar menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan substansi pasal-pasal.

Kegiatan seperti forum dengar pendapat, sosialisasi, atau publikasi draft sering kali dilakukan secara tertutup, terbatas, atau mendadak. Publik—terutama kelompok terdampak langsung seperti praktisi hukum, LSM, dan akademisi daerah—tidak memiliki waktu dan akses yang cukup untuk membaca, menganalisis, dan memberikan respons yang berarti.

2. Dimensi Hak Partisipatif yang Terabaikan

Secara prinsip, partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang bukan hanya soal diundang hadir atau mengisi formulir saran. Ada tiga dimensi partisipasi yang ideal:

a. Didengar: Masyarakat dilibatkan dalam dialog, bukan sekadar diwakili;

b. Dipertimbangkan: Masukan harus diolah, ditanggapi, dan menjadi bahan penyesuaian;

c. Diberi umpan balik: Penyelenggara wajib menjelaskan keputusan terhadap masukan publik.

Ketiga prinsip ini tampaknya belum dilaksanakan secara menyeluruh dalam pembahasan RUU KUHAP. Hal ini menimbulkan kesan bahwa suara publik hanya menjadi pelengkap administratif belaka.

3. Risiko Regulasi Tanpa Legitimasi Sosial

Ketiadaan partisipasi publik yang bermakna bukan hanya soal pelanggaran etika politik, tetapi juga berdampak pada legitimasi hukum itu sendiri. KUHAP sebagai produk hukum acara akan menyentuh seluruh aspek penegakan hukum—mulai dari penyelidikan, penahanan, pembelaan, hingga persidangan.

Jika masyarakat merasa tidak dilibatkan, maka hukum yang dihasilkan rawan kehilangan kepercayaan publik. Terlebih, dalam konteks demokrasi, pembentukan hukum seharusnya mencerminkan kontrak sosial, bukan hanya kebijakan segelintir elite.

4. Poin-Poin Substansi yang Layak Diperdebatkan

Beberapa isu substansial dalam RUU KUHAP yang penting untuk mendapat perhatian publik antara lain:

a.Perluasan kewenangan penyidik;

b. Penguatan peran jaksa dalam prapenuntutan;

c. Perlindungan saksi, tersangka, dan korban;

d. Mekanisme praperadilan;

e. Batas waktu penahanan dan proses peradilan yang lebih efisien.

Sayangnya, sebagian dari isu-isu ini dibahas tanpa partisipasi publik yang mendalam, padahal menyangkut hak-hak dasar warga negara.

Baca juga Prinsip Negara Hukum Menurut UUD 1945: Antara Idealisme dan Realitas di Indonesia

5. Pentingnya Keterbukaan Data dan Progres Legislasi

Kritik juga diarahkan pada aspek keterbukaan informasi. Draft RUU KUHAP tidak selalu diperbarui secara publik, dan perubahan-perubahan substansi kerap terjadi tanpa pemberitahuan yang memadai. Proses pembahasan pun tidak disiarkan secara luas, membuat publik sulit mengikuti jalannya diskusi.

Ketertutupan ini memberi ruang bagi ketidakterlibatan masyarakat, dan pada saat yang sama memperkuat dominasi elite dalam menentukan arah hukum acara.

6. Rekomendasi Perbaikan Proses Legislasi

Agar RUU KUHAP dapat menjadi instrumen hukum yang progresif dan berpihak pada keadilan substantif, beberapa langkah perbaikan mutlak diperlukan:

Transparansi Draft: Seluruh perubahan pasal harus diunggah dan dipublikasikan secara real-time;

Jadwal Rapat Publik: Forum dengar pendapat harus dirancang jauh-jauh hari dengan sistematika yang jelas;

Jejak Revisi: DPR perlu menyertakan tabel respons terhadap masukan publik: mana yang diterima, mana yang ditolak, beserta alasannya;

Akses Daerah: Konsultasi tidak hanya dilakukan di ibu kota, tetapi juga menjangkau akademisi, aktivis, dan masyarakat hukum di daerah.

7. Pelajaran dari Masa Lalu

Indonesia pernah mengalami penolakan besar terhadap sejumlah produk legislasi karena dianggap mengabaikan suara rakyat, seperti dalam kasus UU Cipta Kerja atau revisi UU KPK. Pembelajaran tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa proses hukum tidak bisa dipisahkan dari akuntabilitas publik.

RUU KUHAP bukan sekadar reformasi teknis hukum acara, tapi akan menjadi wajah baru keadilan pidana Indonesia. Jika prosesnya eksklusif dan minim dialog, maka hasilnya pun bisa tidak mengakomodasi kebutuhan nyata masyarakat.

📌 Kesimpulan

Minimnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU KUHAP menimbulkan kekhawatiran akan kualitas demokratis dari sistem hukum acara yang sedang dibentuk. Di tengah era keterbukaan informasi, proses legislasi semestinya mengedepankan kolaborasi antara pembentuk hukum dan masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama.

Partisipasi publik bukan sekadar prosedur, tetapi esensi dari keadilan itu sendiri. Jika masyarakat tidak diajak bicara sejak awal, maka legitimasi hukum akan selalu berada di bawah bayang-bayang keraguan.

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال